Pentingnya Psikologi Komitmen dalam Pendidikan Anti Korupsi

photo author
- Selasa, 1 Maret 2022 | 12:26 WIB
Geofakta Razali, Pakar Komunikasi Media dan Postmodernisme Institut STIAMI
Geofakta Razali, Pakar Komunikasi Media dan Postmodernisme Institut STIAMI

Oleh : Geofakta Razali

Pakar Komunikasi Media, dan Postmodernisme Institut STIAMI

Rasanya mungkin tidak menarik lagi untuk membahas korupsi besar-besaran yang merajalela terjadi, terutama oleh para pejabat negara kita. Sampai-sampai ada istilah, budaya negara kita bukan gotong royong, tapi korupsi. Sebuah anekdot terhadap fenomena yang luar biasa ini. Apa itu korupsi?, Dalam KBBI korupsi diartikan sebagai penyelewengan atau penyalahgunaan uang negara (perusahaan dan sebagainya) untuk keuntungan pribadi atau orang lain. Dengan kata lain, korupsi adalah sebuah “perilaku”. Korupsi adalah bentuk perilaku yang menyimpang secara hukum, norma, maupun moral (Takacs, dkk.2011; William dalam Jiang 2017). Perilaku menyimpang dalam konteks korupsi adalah perilaku yang didorong oleh kepentingan diri sendiri (selfinterest) dan obsesi. Salah konsep yang terjadi tentang korupsi sering dikaitkan dengan korupsi uang. Padahal, mungkin saja budaya itu terjadi karena alam bawah sadar kita juga tidak memahami apa itu perilaku korupsi. Korupsi bukan hanya menyoal suap menyuap uang, namun memungkinkan juga untuk korupsi waktu seperti berbohong tentang jam bekerja, bahkan korupsi sederhana menggunakan barang yang bukan milik kita. Mungkin saja berbohon pada diri sendiri itu juga korupsi.

Contoh kasus, dalam ketidaksempurnaan saya, saya teringat ketika dulu saya sedang skripsi, saya menggunakan peralatan kantor untuk menyelesaikan skripsi, seperti penggunaan kertas dan mesin print. Walaupun memang kantor membelikannya untuk saya. Logika sederhananya adalah, setiap orang yang menggunakan peralatan kantor untuk kepentingan pribadi, juga termasuk korupsi apabila dipakai diluar kepentingan kantor. Seharusnya ditarik bayaran, karena sebesar itulah uang perusahaan telah saya lenyapkan. Sebenarnya, semua tentu bermula dari pikiran sederhana kita bahwa “yah, gak apa-apa, sedikit saja”. Lalu kita keterusan. Saya baru menyadari ini ketika mengikuti sebuah webinar keagamaan. Dan semenjak itu, saya tidak lagi melakukan hal tersebut. Saya begitu khawatir, setiap waktu yang berjalan saya akan terpengaruh oleh hal yang saya anggap sepele. Saya harus memiliki komitmen dan integritas.

Baca Juga: Peringati HUT Kota, Pemkot Musnahkan Ribuan Botol Miras

Masalah korupsi tentu juga adalah masalah integritas yang dimulai dari komitmen. Nilai dasar integritas dapat memengaruhi secara signifikan penguatan nilai-nilai antikorupsi dengan membangun sistem berdasarkan pencapaian prinsip antikorupsi. Integritas terdiri atas dua bentuk, yaitu integritas substantif dan formal (Bauman, 2011). Setiap individu yang memiliki integritas (khususnya integritas substantif) akan memunculkan perilaku-perilaku yang sejalan dengan nilai dasar dalam integritas tersebut. Misalnya komitmen. Berbicara soal perilaku, tentu kita akan berbicara soal psikologi. Ya, psikologi komitmen.

Dalam sebuah jurnal yang saya baca milik (Crosby & Taylor 1983). Psikologi komitmen dapat menjelaskan konsep perilaku korupsi. Ditemukan bahwa komitmen akan mencerminkan sikap. Konstruksi sikap selanjutnya akan membentuk sesuatu yang dinamakan loyalitas. Loyalitas yang akan membentuk integritas. Korupsi yang terjadi dimana-mana dalam praktik private sampai public tentu kita harapkan tidak melembaga dalam sebuah organisasi atau masyarakat. Berdasarkan eksperimen terbaru (Tanner, 2022), individu yang memiliki komitmen moral yang tinggi cenderung tidak terlibat dalam perilaku korupsi. Ditemukan bahwa semakin individu menahan korupsi, maka semakin mereka mendukung integritas, dan semakin tinggi tingkat hasil kejujuran dan kerendahan hati mereka. Hasil eksperimen mereka membuktikan bahwa orang yang berkompromi dengan integritas, maka mereka kurang bersedia menerima suap.

Baca Juga: Siapkan Fasilitator Handal, PMI Kota Tangerang Gelar TOF

Maka, menurut saya, narasi yang harus diceritakan oleh pendidikan anti korupsi bukan hanya menyoal pada kasus-kasus yang terjadi, pengertian dan klasifikasi korupsi, atau bahkan dukungan terhadap lembaga khusus seperti KPK. Semua tidak cukup hanya sampai disana. Dalam Pendidikan anti korupsi, perlu mempertimbangkan askpek kognitif dalam pembentukan karakter melalui psikologi komitmen. Bagaimana menumbuhkan loyalitas, bagaimana menjagag integritas, dan kemanfaatannya untuk diri sendiri. Karena perubahan besar harus dimulai dari Pendidikan terhadap diri sendiri.

Referensi :

Bauman, D. (2011). Integrity, Identity, and Why Moral Exemplars Do What Is Right. Dissertations. USA: Washington University.

Crosby, L.A., & Taylor, J.R. (1983). Psychological commitment and its effects on post decision evaluation and preference stability among voters. Journal of Consumer Research, 9(4), 413-431.

Takács, I., Csapodi, P., & Takács, K. G. (2011). Corruption as a Deviant Social Attitude. Public Finance Quarterly, 56 (1), p. 27-43.

Tanner C, Linder S, Sohn M (2022) Does moral commitment predict resistance to corruption? experimental evidence from a bribery game.

Halaman:
Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi.

Editor: Ilham Dharmawan

Tags

Artikel Terkait

Rekomendasi

Terkini

Kemiskinan, Kesehatan, dan Tanggung Jawab Negara

Jumat, 19 Desember 2025 | 13:03 WIB

Hutan sebagai Korban Gaya Hidup Materialistis

Rabu, 17 Desember 2025 | 19:55 WIB

Bahasa yang Hilang di Balik Cahaya Layar Gadget

Rabu, 17 Desember 2025 | 15:29 WIB

UKW dan Kerendahan Hati Seorang Wartawan

Selasa, 16 Desember 2025 | 13:15 WIB

The Western Wall

Jumat, 12 Desember 2025 | 14:40 WIB

Aset Perusahaan Terbakar? Begini Aspek Perpajakannya

Jumat, 12 Desember 2025 | 13:08 WIB

Kekaguman atas Sikap Kemanusiaan — Catatan Pribadi

Rabu, 10 Desember 2025 | 11:35 WIB
X