Tidak ada yang mengajarkan kamu bagaimana cara bersikap di gang sempit Kintamani pagi itu. Tapi dari satu kesalahan kecil, kamu bisa mendapatkan pelajaran yang jauh lebih dalam juga bermakna disbanding isi seminar mana pun. Etika bukan hanya soal sikap. Etika adalah hasil dari pengamatan, empati, dan kesadaran untuk tidak selalu merasa benar hanya karena tidak tahu.
Sekarang kamu mulai mengubah cara pandangmu. Kini kamu tidak lagi menganggap Bali sebagai tempat wisata semata. Bali adalah ruang hidup, ruang suci bagi orang lain. Kamu belajar bahwa menjadi tamu yang baik bukan hanya sopan santun kosong, tetapi memiliki keinginan untuk mendegar dan menyesuaikan diri.
Hari berikutnya kamu pergi berjalan kaki di gang sempit yang sama pada hari itu. Kamu melihat dupa lain diletakkan di tanah. Tidak seperti sebelumnya, kali ini kamu berhenti, bukan karena merasa bersalah, tetappi karena kamu sadar ada sesuatu yang lebih penting dari perjalananmu, yaitu menghargai ruang orang lain. Kamu berdiri untuk sepersekian detik, memandangi asap tipis yang ada di udara, dalam diam kamu meminta maaf atas kesalahanmu di masa lampau.
Etika seperti ini tidak akan pernah kamu temui di peraturan lalu lintas. Etika seperti ini hanya bias tumbuh ketika kamu menundukkan ego dan membuka hati. Etika bukan hanya tentang tahu harus apa. Tapi tahu kapan kamu harus diam, dan kapan harus meminta maaf tanpa diperintah.
Pulang Membawa Hal Baru
Mengingat waktu kamu di Bali akan usai, kamu sadar bahwa kenangan terbaik bukanlah panaroma Gunung Batur atau Pantai Kuta, melainkan pelajaran yang dating dari hal kecil seperti dupa yang terlindas. Kejadian itu menjadi titik balik yang membuatmu memahami bahwa kehidupan bukan hanya tentang terus maju, tapi juga tentang tahu kapan kamu harus berhenti.
Kamu tidak hanya membawa pulang buah tangan atau kerajinan khas Bali. Tappi kamu juga membawa sesuatu yang lebih penting, mengenai pemahaman bahwa etika adalah bentuk tertinggi dari kecerdasan emosional. Di sana kamu belajar untuk menjadi pengamat yang rendah hati, untuk tidak merasa paling tahu di tempat yang bukan wilayahmu, dan untuk tidak keras kepala bahwa segalanya harus sesuai dengan logikamu sendiri
Bali mengajarkan dirimu dengan cara yang unik, tanpa marah, tanpa menyudutkan. Bali membiarkan dirimu belajar sendiri. Itulah cara sebuah budaya menjaga dirinya sendiri, dengan memberi ruang bagi orang luar untuk tumbuh bersama menjadi lebih baik, asal mereka mau merunduk.
Ketika kamu kembali menginjak Jakarta, kamu merasa lebih peka. Kamu menjadi sadar saat memarkir kendaraan, lebih berhati-hati ketika berjalan di tempat umum, dan lebih bijak ketika berbicara tentang budaya lain. Semua perubahan itu berawal dari sebuah dupa yang tak sengaja kamu linda. Luka kecil itu menjadi cahaya dalam ruang gelap yang ada di dirimu. Dulu kamu belum sepenuhnya tahu cara menjadi manusia yang menghormati
Sekarang, kamu tahu bahwa etika merupakan pelajaran yang tak pernah selesai. Tapi sekarang kamu sudah menenkan tombol “start” untuk memulainya.***
(Penulis: adinda Putri farhana)
Artikel Terkait
Festival Budaya 2025, Kelas X F SMAN 8 Jakarta Borong 3 Penghargaan
Peringati HUT ke-74 Koopsud I, Lanud Husein Sastranegara Bagikan Sembako Secara Door to Door
Cuaca Ekstrem 46 Derajat di Makkah, Jemaah Diminta Jaga Kesehatan Menjelang Puncak Haji
Kiprah Alumni UNIDA Gontor yang Bergerak di Bidang Konsultan Pendidikan Islam dan Praktisi Promosi dan Branding Lembaga
Maknai Hari Kebangkitan Nasional, Ini 7 Peran BRI Bawa Ekonomi Indonesia Lebih Kuat!