Memahami Peran Aktivis dan Gerakan Aktivisme di Indonesia

photo author
- Senin, 15 September 2025 | 11:30 WIB

Seperti kata H. Agus Salim, “Memimpin adalah menderita.” Bagi aktivis, penderitaan seperti dipenjara adalah bagian dari konsistensi memperjuangkan rakyat. Generasi muda yang ingin menjadi aktivis harus mampu menuangkan ide melalui tulisan. Sejak era kolonial hingga Reformasi, aktivis seperti Sutan Sjahrir hingga Rocky Gerung dikenal sebagai penulis yang aktif menyuarakan gagasan di media.

Rakyat tidak hanya mengharapkan aksi fisik, seperti membersihkan sungai yang sudah menjadi tugas pekerja kebersihan, tetapi juga gagasan cemerlang yang lahir dari pembacaan dan pengalaman lapangan. Aktivis harus mampu memimpin perdebatan dialektis tentang isu-isu publik, menggerakkan massa, dan memengaruhi elite melalui ide-ide yang brilian.
Aktivis bukan sekadar menjawab atau menghafal pertanyaan, melainkan mereka yang berani menggugat ketidakadilan dan mengajukan pertanyaan kritis kepada pemerintah atau elite. Dialektika pemikiran tajam ini tampak pada sidang Volksraad masa kolonial Belanda dan sidang perumusan dasar negara Indonesia.

Tiga aktivis perempuan Indonesia, Julia Suryakusuma, Gadis Arivia, dan Karlina Supelli, menjadi teladan. Gerakan Ibu Peduli, bagian dari aktivisme perempuan, menentang rezim Soeharto melalui demonstrasi simbolis bertema susu pada 1998. Gadis Arivia dan Karlina Supelli, tokoh kunci gerakan ini, pernah dipenjara karena aksinya. Keduanya tetap konsisten mengkritik isu perempuan dan ketidakadilan hingga kini.

Gadis Arivia mendirikan Yayasan Jurnal Perempuan pada 1995, sebuah organisasi nonpemerintah yang mengadvokasi hak perempuan dan kesetaraan gender. Yayasan ini menjadi platform penting untuk diskusi feminisme dan isu sosial di Indonesia. Karlina Supelli, yang turut mendirikan yayasan ini, aktif dalam kajian gender dan filsafat. Sementara itu, Julia Suryakusuma, melalui konsep “State Ibuism”, mengkritik peran perempuan pada era Orde Baru dan tetap menjadi pengamat sosial kritis lewat tulisan-tulisannya.

Rocky Gerung, aktivis dan pengamat sosial, terlibat dalam SETARA Institute, organisasi yang fokus pada advokasi demokrasi dan hak asasi manusia. Ia dikenal sebagai pembicara publik yang vokal mengkritik kebijakan pemerintah.

Banyak aktivis sejati terhubung dengan dunia akademik sebagai dosen, peneliti, atau pendiri pusat kajian, sehingga gagasan mereka terukur dan dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Aktivis lingkungan yang tidak terhubung dengan organisasi massa atau civitas akademika sering kali dinilai kurang memiliki dasar keilmuan yang kuat.

Generasi muda yang ingin menjadi aktivis perlu menjalin jejaring dengan civitas akademika untuk memastikan transfer keilmuan. Dengan demikian, aksi dan gagasan mereka berada dalam koridor keilmuan, bukan sekadar retorika kosong.

Penutup:
Aktivisme di Indonesia adalah perjuangan melawan ketidakadilan, konsistensi pada idealisme, dan kemampuan menghasilkan gagasan yang mencerahkan. Generasi muda harus belajar dari sejarah aktivisme, menulis gagasan, dan berkolaborasi dengan dunia akademik agar perjuangan mereka berdampak nyata bagi masyarakat.

 

(Novita sari yahya)

Halaman:
Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi.

Editor: Rohmat Rospari

Tags

Artikel Terkait

Rekomendasi

Terkini

Kemiskinan, Kesehatan, dan Tanggung Jawab Negara

Jumat, 19 Desember 2025 | 13:03 WIB

Hutan sebagai Korban Gaya Hidup Materialistis

Rabu, 17 Desember 2025 | 19:55 WIB

Bahasa yang Hilang di Balik Cahaya Layar Gadget

Rabu, 17 Desember 2025 | 15:29 WIB

UKW dan Kerendahan Hati Seorang Wartawan

Selasa, 16 Desember 2025 | 13:15 WIB

The Western Wall

Jumat, 12 Desember 2025 | 14:40 WIB

Aset Perusahaan Terbakar? Begini Aspek Perpajakannya

Jumat, 12 Desember 2025 | 13:08 WIB

Kekaguman atas Sikap Kemanusiaan — Catatan Pribadi

Rabu, 10 Desember 2025 | 11:35 WIB
X