Branding Halu-Halu: Tipu Daya Digital yang Melahirkan Pemimpin Semu dan Manusia Jadi-Jadian

photo author
- Rabu, 24 September 2025 | 07:24 WIB
Ilustrasi pemimpin negara tahun 2024. (X)
Ilustrasi pemimpin negara tahun 2024. (X)

Jahja Datoek Kajo (1874–1942), demang dari Koto Gadang, Sumatra Barat, menolak label “inlander” dan menegaskan diri sebagai “Indonesier terhormat” di hadapan kolonialis (Integralis, 2013). Ia menggagas Studiefonds Koto Gadang, dana beasiswa komunal untuk menyekolahkan anak-anak desa ke HIS dan sekolah Belanda lainnya. Ia juga memimpin inisiatif pengelolaan air bersih (waterleiding) yang membuat Koto Gadang dikenal sebagai “desa seribu dokter.”

Pemimpin seperti Jahja lahir dari aksi nyata, bukan citra digital. Kontras dengan hari ini, ketika buzzer politik dengan ribuan akun bayaran membanjiri ruang maya dengan narasi emosional, seolah-olah menggantikan rekam jejak substantif

Drama Ijazah Palsu dan Branding Semu

Di era kini, polemik ijazah palsu pejabat publik berulang seperti drama tanpa akhir. Ijazah bukan lagi simbol pencapaian, melainkan alat manipulasi. Fenomena ini saya sebut branding halu-halu: citra semu yang dipoles glamor melalui media sosial, namun kosong substansi.

Menurut laporan We Are Social (2024), sekitar 70% konten politik di TikTok berasal dari akun terorganisir, sering kali memakai hoaks atau bahkan deepfake. Fenomena ini lebih menyerupai perang informasi yang melahirkan “pemimpin instan.”

Populisme Digital: Pelajaran Global

Fenomena serupa terjadi di berbagai negara. Yascha Mounk (2018) menyebutnya the age of populism—era ketika pemimpin naik lewat retorika emosional yang diperkuat teknologi digital.

Donald Trump di AS memenangkan 2016 dengan memanfaatkan polarisasi Twitter, menghasilkan erosi kepercayaan publik terhadap institusi (Pew Research, 2020).

Hugo Chávez di Venezuela tampil sebagai pembela rakyat, namun meninggalkan inflasi jutaan persen (IMF, 2018).

Jair Bolsonaro di Brasil mengandalkan WhatsApp, tetapi kebijakannya anti-sains memperburuk pandemi COVID-19, menewaskan ratusan ribu orang (The Lancet, 2022).

Rodrigo Duterte di Filipina membangun citra “tegas” lewat YouTube, tetapi meninggalkan ribuan kasus eksekusi ekstra-yudisial (Amnesty International, 2023).

Semua ini adalah branding halu-halu: pencitraan digital yang menutupi realitas kebijakan. Indonesia jelas tidak kebal. Survei Indikator Politik (2024) menunjukkan 40% pemilih muda menentukan pilihan berdasarkan konten viral, bukan program kebijakan.

Branding Semu di Dunia Hiburan

Fenomena pencitraan semu juga kental di dunia hiburan. Analisis media menunjukkan bahwa sebagian besar konten digital pemenang ajang pageant berfokus pada gaya hidup glamor, sementara slogan “women empowerment” hanya menjadi kemasan manis.

Kasus terbaru memperjelas paradoks ini. Seorang queen yang baru saja dinobatkan ternyata, setelah verifikasi rekam jejak media sosial, terungkap kerap tampil dalam pesta miras tequila. Hampir 80 persen unggahan di akun pribadinya berisi pose dengan bikini two-piece, menampilkan estetika tubuh semata ketimbang gagasan pemberdayaan perempuan yang selalu ia gaungkan di panggung.

Halaman:
Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi.

Editor: Rohmat Rospari

Tags

Artikel Terkait

Rekomendasi

Terkini

Kemiskinan, Kesehatan, dan Tanggung Jawab Negara

Jumat, 19 Desember 2025 | 13:03 WIB

Hutan sebagai Korban Gaya Hidup Materialistis

Rabu, 17 Desember 2025 | 19:55 WIB

Bahasa yang Hilang di Balik Cahaya Layar Gadget

Rabu, 17 Desember 2025 | 15:29 WIB

UKW dan Kerendahan Hati Seorang Wartawan

Selasa, 16 Desember 2025 | 13:15 WIB

The Western Wall

Jumat, 12 Desember 2025 | 14:40 WIB

Aset Perusahaan Terbakar? Begini Aspek Perpajakannya

Jumat, 12 Desember 2025 | 13:08 WIB

Kekaguman atas Sikap Kemanusiaan — Catatan Pribadi

Rabu, 10 Desember 2025 | 11:35 WIB
X