Jahja Datoek Kajo (1874–1942), demang dari Koto Gadang, Sumatra Barat, menolak label “inlander” dan menegaskan diri sebagai “Indonesier terhormat” di hadapan kolonialis (Integralis, 2013). Ia menggagas Studiefonds Koto Gadang, dana beasiswa komunal untuk menyekolahkan anak-anak desa ke HIS dan sekolah Belanda lainnya. Ia juga memimpin inisiatif pengelolaan air bersih (waterleiding) yang membuat Koto Gadang dikenal sebagai “desa seribu dokter.”
Pemimpin seperti Jahja lahir dari aksi nyata, bukan citra digital. Kontras dengan hari ini, ketika buzzer politik dengan ribuan akun bayaran membanjiri ruang maya dengan narasi emosional, seolah-olah menggantikan rekam jejak substantif
Drama Ijazah Palsu dan Branding Semu
Di era kini, polemik ijazah palsu pejabat publik berulang seperti drama tanpa akhir. Ijazah bukan lagi simbol pencapaian, melainkan alat manipulasi. Fenomena ini saya sebut branding halu-halu: citra semu yang dipoles glamor melalui media sosial, namun kosong substansi.
Menurut laporan We Are Social (2024), sekitar 70% konten politik di TikTok berasal dari akun terorganisir, sering kali memakai hoaks atau bahkan deepfake. Fenomena ini lebih menyerupai perang informasi yang melahirkan “pemimpin instan.”
Populisme Digital: Pelajaran Global
Fenomena serupa terjadi di berbagai negara. Yascha Mounk (2018) menyebutnya the age of populism—era ketika pemimpin naik lewat retorika emosional yang diperkuat teknologi digital.
Donald Trump di AS memenangkan 2016 dengan memanfaatkan polarisasi Twitter, menghasilkan erosi kepercayaan publik terhadap institusi (Pew Research, 2020).
Hugo Chávez di Venezuela tampil sebagai pembela rakyat, namun meninggalkan inflasi jutaan persen (IMF, 2018).
Jair Bolsonaro di Brasil mengandalkan WhatsApp, tetapi kebijakannya anti-sains memperburuk pandemi COVID-19, menewaskan ratusan ribu orang (The Lancet, 2022).
Rodrigo Duterte di Filipina membangun citra “tegas” lewat YouTube, tetapi meninggalkan ribuan kasus eksekusi ekstra-yudisial (Amnesty International, 2023).
Semua ini adalah branding halu-halu: pencitraan digital yang menutupi realitas kebijakan. Indonesia jelas tidak kebal. Survei Indikator Politik (2024) menunjukkan 40% pemilih muda menentukan pilihan berdasarkan konten viral, bukan program kebijakan.
Branding Semu di Dunia Hiburan
Fenomena pencitraan semu juga kental di dunia hiburan. Analisis media menunjukkan bahwa sebagian besar konten digital pemenang ajang pageant berfokus pada gaya hidup glamor, sementara slogan “women empowerment” hanya menjadi kemasan manis.
Kasus terbaru memperjelas paradoks ini. Seorang queen yang baru saja dinobatkan ternyata, setelah verifikasi rekam jejak media sosial, terungkap kerap tampil dalam pesta miras tequila. Hampir 80 persen unggahan di akun pribadinya berisi pose dengan bikini two-piece, menampilkan estetika tubuh semata ketimbang gagasan pemberdayaan perempuan yang selalu ia gaungkan di panggung.
Artikel Terkait
Perempuan Tangguh: Memimpin di Tengah Krisis, Membangun Peradaban.
Memahami Peran Aktivis dan Gerakan Aktivisme di Indonesia
Pejabat yang Suka Bikin Drama Berakhir Tragis
Memahami Pengertian dan Ruang Lingkup MANUSKRIP ARKEOLOGI
Reshuffle Kabinet Prabowo: Langkah Strategi Penguatan Asta Cita