Risiko Sosial dan Moral
Oplas dengan biaya sendiri tentu sah-sah saja. Masalah muncul ketika gaya hidup glamor dibiayai dengan cara tidak etis: mulai dari pinjaman ilegal, skandal korupsi, hingga hubungan transaksional. Tidak sedikit figur sosial yang tampak kinclong di Instagram, tetapi akhirnya terseret kasus kriminal.
Kajian ekofeminisme (2024) mengingatkan bahwa kapitalisasi tubuh perempuan tidak hanya merampas sumber ekonomi tradisional, tetapi juga menjerat dalam konsumerisme patriarkal. Kecantikan diperlakukan layaknya komoditas yang dapat dibeli, dijual, dan dipamerkan—tanpa mempertimbangkan kesehatan atau martabat perempuan itu sendiri.
Kembali ke Rasionalitas dan Self-Love
Lantas, mengapa tidak tampil apa adanya? Pertanyaan ini muncul setiap kali saya bercermin menatap kerutan usia. Jawabannya sederhana tetapi sulit: tekanan ekspektasi sosial. Kita sering mengukur kebahagiaan dari jumlah like dan komentar.
Pageant hanyalah salah satu panggung yang memperbesar persoalan. Branding “halu-halu” membuat mahkota seolah simbol kesempurnaan, padahal sering kali hanya refleksi ketidakpuasan. Industri kapitalisme berhasil menggeser tolok ukur kecantikan dari pencapaian personal menjadi standar buatan mesin.
Namun setelah tepuk tangan berhenti, realita kembali menyapa. Mahkota hanyalah permainan masa kecil, seperti boneka Barbie. Kebahagiaan sejati bukan datang dari wajah sempurna, melainkan penerimaan diri.
Sebagaimana yang saya pelajari di panggung maupun kehidupan: cantik itu karena menjadi diri sendiri, bukan karena “da dah manjah” versi kapitalisme. Mari gunakan rasionalitas, bukan sekadar ikut arus ilusi. Boleh saja mengedit foto, tetapi jangan lupa mengedit jiwa—membangun self-love, karena itulah yang abadi.
Penutup
Kecantikan selalu menjadi sumber daya tarik, peluang, sekaligus jebakan. Dari biologi hingga kapitalisme, dari dongeng Cinderella hingga mahkota pageant, perempuan berhadapan dengan ekspektasi yang kadang melelahkan.
Di tengah gemerlap industri, ada satu hal yang seharusnya tak tergantikan: penerimaan diri. Karena pada akhirnya, kecantikan sejati bukanlah ilusi digital atau hasil pisau bedah, melainkan keberanian untuk tampil apa adanya.
(Novita Sari Yahya, Penulis dan peneliti)
Artikel Terkait
Pejabat yang Suka Bikin Drama Berakhir Tragis
Memahami Pengertian dan Ruang Lingkup MANUSKRIP ARKEOLOGI
Reshuffle Kabinet Prabowo: Langkah Strategi Penguatan Asta Cita
Pendekatan Multi Disiplin dalam Kuantum Ekonomi
Branding Halu-Halu: Tipu Daya Digital yang Melahirkan Pemimpin Semu dan Manusia Jadi-Jadian