Halu-Halu Kecantikan: Antara Impian Cinderella dan Jerat Kapitalisme

photo author
- Kamis, 25 September 2025 | 06:20 WIB
Sanly Liu juara pertama Miss Universe Indonesia 2025 (viqi)
Sanly Liu juara pertama Miss Universe Indonesia 2025 (viqi)

Risiko Sosial dan Moral

Oplas dengan biaya sendiri tentu sah-sah saja. Masalah muncul ketika gaya hidup glamor dibiayai dengan cara tidak etis: mulai dari pinjaman ilegal, skandal korupsi, hingga hubungan transaksional. Tidak sedikit figur sosial yang tampak kinclong di Instagram, tetapi akhirnya terseret kasus kriminal.

Kajian ekofeminisme (2024) mengingatkan bahwa kapitalisasi tubuh perempuan tidak hanya merampas sumber ekonomi tradisional, tetapi juga menjerat dalam konsumerisme patriarkal. Kecantikan diperlakukan layaknya komoditas yang dapat dibeli, dijual, dan dipamerkan—tanpa mempertimbangkan kesehatan atau martabat perempuan itu sendiri.

Kembali ke Rasionalitas dan Self-Love

Lantas, mengapa tidak tampil apa adanya? Pertanyaan ini muncul setiap kali saya bercermin menatap kerutan usia. Jawabannya sederhana tetapi sulit: tekanan ekspektasi sosial. Kita sering mengukur kebahagiaan dari jumlah like dan komentar.

Pageant hanyalah salah satu panggung yang memperbesar persoalan. Branding “halu-halu” membuat mahkota seolah simbol kesempurnaan, padahal sering kali hanya refleksi ketidakpuasan. Industri kapitalisme berhasil menggeser tolok ukur kecantikan dari pencapaian personal menjadi standar buatan mesin.

Namun setelah tepuk tangan berhenti, realita kembali menyapa. Mahkota hanyalah permainan masa kecil, seperti boneka Barbie. Kebahagiaan sejati bukan datang dari wajah sempurna, melainkan penerimaan diri.

Sebagaimana yang saya pelajari di panggung maupun kehidupan: cantik itu karena menjadi diri sendiri, bukan karena “da dah manjah” versi kapitalisme. Mari gunakan rasionalitas, bukan sekadar ikut arus ilusi. Boleh saja mengedit foto, tetapi jangan lupa mengedit jiwa—membangun self-love, karena itulah yang abadi.

Penutup

Kecantikan selalu menjadi sumber daya tarik, peluang, sekaligus jebakan. Dari biologi hingga kapitalisme, dari dongeng Cinderella hingga mahkota pageant, perempuan berhadapan dengan ekspektasi yang kadang melelahkan.

Di tengah gemerlap industri, ada satu hal yang seharusnya tak tergantikan: penerimaan diri. Karena pada akhirnya, kecantikan sejati bukanlah ilusi digital atau hasil pisau bedah, melainkan keberanian untuk tampil apa adanya.

(Novita Sari Yahya, Penulis dan peneliti)

 

Halaman:
Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi.

Editor: Rohmat Rospari

Tags

Artikel Terkait

Rekomendasi

Terkini

Kemiskinan, Kesehatan, dan Tanggung Jawab Negara

Jumat, 19 Desember 2025 | 13:03 WIB

Hutan sebagai Korban Gaya Hidup Materialistis

Rabu, 17 Desember 2025 | 19:55 WIB

Bahasa yang Hilang di Balik Cahaya Layar Gadget

Rabu, 17 Desember 2025 | 15:29 WIB

UKW dan Kerendahan Hati Seorang Wartawan

Selasa, 16 Desember 2025 | 13:15 WIB

The Western Wall

Jumat, 12 Desember 2025 | 14:40 WIB

Aset Perusahaan Terbakar? Begini Aspek Perpajakannya

Jumat, 12 Desember 2025 | 13:08 WIB

Kekaguman atas Sikap Kemanusiaan — Catatan Pribadi

Rabu, 10 Desember 2025 | 11:35 WIB
X