Pedoman-pedoman pemberitaan itu adalah Pedoman Pemberitaan Ramah Anak, Pedoman Pemberitaan Media Siber, Pedoman Pemberitaan Keberagaman, Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3SPS) untuk radio dan televisi, Pedoman Pemberitaan Ramah Disabilitas, Pedoman Penanganan Kasus Kekerasan Terhadap Wartawan, Pedoman hak Jawab, Penerapan hak tolak dan tanggung jawab hukum dalam perkara jurnalistik.
Secara otomatis kebebasan pun kemudian diatur dengan pedoman-pedoman tersebut demi kebaikan bersama dan tanggung jawab sosial.
Namun demikian, KEJ memperkuat kerja profesional wartawan. Dalam KEJ, wartawan tidak boleh berbohong, dan menerima suap dari sumber berita dalam bentuk apapun yang dapat mempengaruhi independensi.
Pers dituntut mampu mem-verifikasi kebenaran informasi dengan menggunakan daya nalar kritisnya, sebelum menjadikan informasi sebagai berita media massa.
Tidak Beropini
Bahkan dalam KEJ, wartawan tidak boleh beropini, mencampurkan fakta dan opini pribadi. Hal ini juga menuntut wartawan bekerja lebih cermat dan berpikir kritis dalam melihat fakta.
Untuk menghindari opini, jangan menggunakan kata sifat kecuali dengan menunjukkan fakta-faktanya secara memadai. Lebih baik mengganti kata sifat dengan kata kerja dan kata benda yang jelas.
Misalnya kata sifat “kaya”, diganti dengan menyebutkan fakta-fakta harta kekayaan yang dimiliki. Kata “cantik”, diganti dengan menyebut ciri fisik yang dipahami masyarakat, misalnya “hidung mancung, rambutnya berombak”, dan lain-lain.
Sejumlah kata sifat yang juga perlu dihindari antara lain, hebat, baik, luar biasa, indah, ramah, mudah, sulit, kotor, segar, buruk, murah, mahal, besar, kecil, jahat, kejam, dan seterusnya.
Dengan menguraikan kata sifat dengan fakta berupa kata benda dan kata kerja, wartawan tidak mudah terjebak dalam permainan kata orang-orang politik.
Misalnya, ada narasumber yang mengatakan program pemerintah Makan Bergizi Gratis (MBG) sekarang sudah baik. Kata “baik” harus dijelaskan baik seperti apa? Ini harus diuraikan supaya wartawan tidak ikut beropini.
Begitu pula kalau narasumber mengatakan dengan kata sifat, “Layanan MBG sekarang amburadul”. Kata “amburadul” harus dijelaskan. Di sini wartawan harus cerewet mempertanyakan kata sifat “amburadul” yang disampaikan oleh narasumber.
“Tadi bapak mengatakan MBG amburadul dan tidak tepat sasaran. Tolong jelaskan amburadulnya seperti apa. Mohon dijelaskan pak”, demikian contoh pertanyaan yang terus mengejar.
“Ketika kamu menggunakan kata sifat, kamu akan berisiko menyelipkan opinimu ke dalam cerita,” kata Carole Rich dalam bukunya Writing and Reporting News, A Coaching Methode, Wadsworth Chengage Learning, 2010.
Wartawan dalam kode etik jurnalistik tidak boleh menulis opininya sendiri. Wartawan hanya melaporkan kejadian, dengan keadaan apa adanya dengan sudut pandang yang menarik. (*)
Artikel Terkait
Ketua AMKI Jateng Kecam Kekerasan terhadap Wartawan di DPRD Pati, Desak Usut Tuntas Pelaku
Kapolsek Kandis Perkuat Sinergi dengan Wartawan, Jaga Kamtibmas di Kandis
Forum Wartawan Kebangsaan Kritisi Program Makan Bergizi Gratis
Forum Wartawan Kebangsaan Kecam Pencabutan Kartu Liputan Reporter CNN Indonesia
Forum Wartawan Kebangsaan Usulkan Perpres Tegas Tata Kelola MBG
Di Era Presiden Siapa pun, Wartawan Harus Berani Bertanya Kritis