Berbagai organisasi kemahasiswaan itu didirikan dengan tujuan untuk lebih mengintensifkan proses pengkaderan melalui berbagai pelatihan dan pembinaan agar para mahasiawa ini lebih siap menjadi pemimpin setelah mereka menyelesaikan pendidikan. Sebab, seorang sarjana tidak cukup hanya menguasai disiplin ilmu yang dipelajari di fakultas, tetapi juga harus memiliki kemampuan lain yang dibutuhkan sebagai calon pemimpin.
Baca Juga: Mantan Sekretaris BPKN Maju Sebagai Calon Anggota BPKN
Proses pengkaderan di berbagai organisasi kemahasiswaan ini terus berlangsung hingga sekarang, meskipun sempat mengalami tekanan di era Orde Baru melalui kebijakan Normalisasi Kehidupan Kampus/Badan Koordinasi Kemahasiswaan (NKK/BKK).
Di era Ode Baru yang otoriter, pemanfaatan dari out put pengkaderan di berbagai organisasi kemahasiswaan ini tidak terlalu optimal. Selain diserap oleh birokrasi pemerintah, banyak di antaranya yang terjun dalam berbagai profesi. Malahan tidak sedikit mantan aktivis ini ditolak masuk birokrasi karena sikap dan pandangan mereka yang kritis terhadap kebijakan pemerintah saat itu.
Selain jalur kemahasiswaan, baik melalui organisasi ekstra kampus (HMI, GMNI, GMKI, PMKRI, PMII, IMM, dll), maupun organisasi intra kampus (Dewan Mahasiswa/Senat Mahasiswa), ada dua jalur pengkaderan calon pemimpin yang cukup berperan di era Orde Baru yaitu birokrasi dan militer termasuk kepolisian. Peranan birokrasi sangat dominan dan menjadi andalan pemerintah saat itu dimana banyak pemimpin yang direkrut dari kalangan pegawai pemerintah. Begitu pula dari kalangan militer dengan pola pendidikan dan pelatihan berjenjang, baik secara formal melalui Akademi Militer (Akabri dan Akpol) maupun melalui berbagai kursus, pelatihan, dan penugasan lainnya.
Baca Juga: FKLPDK Sepakat Alihkan Dukungan ke Ganjar-Mahfud di Pilpres 2024
Keterlibatan militer (dan polisi) ini semakin menonjol dengan diterapkannya konsep Dwifugsi ABRI, dimana kalangan militer dan kepolisian diberi prioritas untuk menduduki berbagai jabatan sipil. Tidak heran kalau di masa itu banyak jabatan stretegis mulai dari level menteri, gubernur, bupati/wali kota, hingga anggota legislatif, diserahkan kepada tentara dan polisi, selain dari kalangan birokrat. Sementara kader dari berbagai kelembagaan sosial dan politik kecuali Golongan Karya, termasuk kader mahasiswa yang dianggap tidak sejalan dengan pemerintah, harus puas sebagai penonton.
Harapan baru muncul di era reformasi, terutama dengan diterapkannya pola pemilihan langsung, baik untuk jabatan presiden-wakil presiden, gubernur, hingga bupati/walikota. Dengan pemilihan langsung, terbuka kesempatan bagi setiap warga negara untuk ikut bertarung. Begitu pula untuk keanggotaan legislatif, peluangnya semakin terbuka dengan diberlakukannya sistem pemilihan proporsional terbuka dimana calon terpilih lebih ditentukan oleh jumlah perolehan suara, bukan berdasarkan nomor urut yang ditentukan oleh pengurus partai.
Pilpres langsung
Sejak diterapkannya pilpres langsung (tahun 2004, 2009, 2014, 2019, bahkan 2024), banyak muncul figur calon pemimpin dari berbagai latar belakang. Sumber rekrutmen pemimpin tidak lagi terbatas dari kalangan birokrat dan TNI-Polri, tetapi juga terbuka bagi partai politik dan organisasi kemasyarakatan.
Pada pilpres 2004 ada lima pasang capres-cawapres, yang merupakan putra-putra terbaik bangsa, dengan rekam jejak yang sangat meyakinkan. Kita melihat ada Jenderal Wiranto yang berpasagan dengan tokoh Nahdlatul Ulama (NU) Salahuddin Wahid, dan Megawati Soekarnoputri berpasangan dengan Hasyim Muzadi. Ada juga Amien Rais berpasangan dengan Siswono Yudo Husodo, Susilo Bambang Yudhoyono dengan Jusuf Kalla, dan Hamzah Haz bersama Agum Gumelar.
Baca Juga: Le Cordon Bleu: Sekolah Kuliner Bergengsi yang Mencetak Pakar Masak Global
Cawapres Salahuddin Wahid dan Hasyim Muzadi dikenal sebagai tokoh NU yang merupakan ormas Islam terbesar di Indonesia. Sedangkan Amien Rais yang mencalonkan diri sebagai presiden, merupakan mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah. Sementara Megawati Soekarnoputri dan Hamzah Haz merupakan politisi dari partai politik yaitu Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Siapa yang tidak mengenal Megawati, seorang oposan yang sangat ditakuti oleh pemerintah Orde Baru, dan Hamzah Haz seorang politisi senior PPP.
Sedangkan Siswono Yudo Husodo dan Jusuf Kalla berasal dari kalangan profesional yang merupakan pengusaha dan mantan aktivis mahasiswa. Jusuf Kalla pernah aktivis Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) sedangkan Siswono dari Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI).
Dari kalangan TNI, ada tiga purnawirawan yaitu Wiranto, Susilo Bambang Yudhoyono, dan Agum Gumelar. Dua nama pertama mencalonkan diri sebagai presiden sedangkan Agum di posisi cawapres. Ketiga purnawirawan ini merupakan tokoh senior di kalangan militer dengan berbagai pengalaman kepemimpinan yang sudah tidak diragukan.