artikel

Waktu yang Tak Pernah Pulang: Catatan Seorang Freelancer Film tentang Etika Jam Kerja

Rabu, 21 Mei 2025 | 09:26 WIB

Edisi.co.id - Di dunia perfilman, semua terlihat gemerlap. Lampu sorot, kamera, dan aktor yang disambut tepuk tangan. Tapi di balik layar, ada kami pekerja film yang mengandalkan tenaga, waktu, dan kepekaan rasa untuk menghasilkan karya yang tak hanya enak ditonton, tapi juga layak disebut seni. Namun, sayangnya, satu hal yang sering dilupakan dalam proses kreatif ini adalah waktu. Etika tentang jam kerja, istirahat, dan penghargaan atas tubuh yang lelah sering kali menjadi cerita yang tak sempat direkam kamera.

Aku bukan sedang mengeluh. Ini bukan kisah pilu atau upaya menjatuhkan siapa pun. Ini hanyalah catatan kecil dari seorang freelancer film yang mencoba jujur tentang kenyataan. Karena aku percaya, dunia kreatif tak seharusnya kehilangan sisi manusiawinya hanya karena dikejar waktu dan ambisi kesempurnaan.

Antara Ekspektasi dan Realita

Dunia film memang memukau. Banyak yang tergoda oleh kilau popularitas dan kemewahan yang tampak di layar kaca. Tapi sedikit yang tahu, di balik setiap adegan dramatis atau aksi heroik, ada kerja keras yang sunyi dari para kru. Aku salah satunya.

Sebagai freelancer di dunia film, aku terbiasa berpindah-pindah produksi. Tak ada jam masuk kantor atau cuti tahunan. Semua berjalan dinamis, fleksibel, dan kadang tak manusiawi. Ekspektasi tentang kebebasan berekspresi dan berkarya nyatanya sering berbenturan dengan kenyataan jam kerja yang tak menentu, bahkan bisa dibilang ekstrem.

UU Kerja yang Hanya Jadi Wacana

Undang-undang Ketenagakerjaan sebenarnya sudah mengatur dengan jelas. Dalam Pasal 77 Ayat (2) UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, disebutkan bahwa waktu kerja yang wajar adalah 7 jam per hari dan 40 jam seminggu untuk 6 hari kerja. Tapi dalam produksi film, siapa yang bisa memegang waktu?

Aku pernah berada di set selama 24 jam penuh. Tidur hanya sekadar memejamkan mata di mobil penjemputan. Tidak ada batasan jelas antara pagi dan malam. Yang ada hanya target scene yang harus selesai hari itu. Ketika kru lain sudah lelah, justru proses paling penting baru dimulai.

Tubuh yang Dipaksa Tak Lelah

Salah satu momen yang paling membekas dalam ingatanku adalah ketika bekerja di sebuah film layar lebar. Sebagai Talent Coordinator, aku harus memastikan semua aktor dan figuran hadir, siap, dan sesuai rundown. Hari itu, dari jam 5 pagi aku sudah bersiap, hingga keesokan paginya saat matahari kembali muncul, aku masih belum sempat merebahkan tubuhku.

Sebelum syuting dimulai, aku sering mendengar ucapan khas dari para kru yang sudah pasrah dengan waktu, “Kayanya ga mungkin pulang malem, udah pasti pulang pagi. Kalo nggak jam 4, ya jam 5 sampai matahari terbit.” Kalimat itu sudah jadi semacam lelucon yang menyakitkan tapi nyata. Kami seolah terbiasa dengan pola kerja yang tak mengenal waktu manusia. Tidur menjadi kemewahan, dan kelelahan menjadi teman harian yang dialami.

Kadang, kelelahan itu justru dibungkus dengan candaan. Entah untuk menghibur diri atau sekadar bertahan di tengah tekanan waktu. Salah satu momen yang selalu aku ingat adalah ketika menjelang malam pukul 19.00 WIB, seseorang dari kru berseru dengan nada semangat, “Ya hari ini kita wrap jam 9.”

Tapi belum sempat kami mengangguk lega, suara lain langsung menyambar, “Tapi jam 9 pagi!” Seruan itu langsung disambut tawa lelah dari semua yang mendengar. Kalimat itu menjadi semacam kode, bahwa kita harus bersiap untuk semalam suntuk lagi. Lucu, tapi juga menyedihkan. Karena lelucon itu bukan sekadar gurauan kosong, melainkan realita yang terjadi hampir setiap hari selama proyek itu berlangsung.

Mendengar perkataan itu, otakku bahkan mulai otomatis menghitung jam mundur dari matahari terbit, bukan dari jam pulang normal seperti pekerja kantoran. Kami yang bekerja di belakang layar hidup dalam alur yang tak bisa ditebak. Tak jarang, aku menyaksikan rekan kru tidur dengan posisi duduk sambil memeluk clipboard, atau soundman yang terlelap sambil mengenakan headset di kepala.

Halaman:

Tags

Terkini

Kemiskinan, Kesehatan, dan Tanggung Jawab Negara

Jumat, 19 Desember 2025 | 13:03 WIB

Hutan sebagai Korban Gaya Hidup Materialistis

Rabu, 17 Desember 2025 | 19:55 WIB

Bahasa yang Hilang di Balik Cahaya Layar Gadget

Rabu, 17 Desember 2025 | 15:29 WIB

UKW dan Kerendahan Hati Seorang Wartawan

Selasa, 16 Desember 2025 | 13:15 WIB

The Western Wall

Jumat, 12 Desember 2025 | 14:40 WIB

Aset Perusahaan Terbakar? Begini Aspek Perpajakannya

Jumat, 12 Desember 2025 | 13:08 WIB

Kekaguman atas Sikap Kemanusiaan — Catatan Pribadi

Rabu, 10 Desember 2025 | 11:35 WIB