artikel

Perempuan Tangguh: Memimpin di Tengah Krisis, Membangun Peradaban.

Senin, 15 September 2025 | 11:21 WIB

edisi.co.id – Perempuan indah secara fisik, kuat secara fakta ungkapan. Rocky Gerung bahwa perempuan “indah secara fisik, berbahaya secara fakta” menggambarkan kekuatan perempuan yang muncul sebagai pemimpin di tengah krisis, menunjukkan ketangguhan yang menginspirasi. Sushila Karki, mantan Ketua Mahkamah Agung Nepal (2016–2017), adalah contoh nyata. Pada 2016, ia memimpin reformasi peradilan di tengah krisis politik Nepal, menyatakan, “Situasilah yang menyeret saya dari jalanan,” mencerminkan bagaimana keadaan memaksanya mengambil peran kepemimpinan.

Hal serupa dialami Aung San Suu Kyi, yang menjadi tahanan politik selama 15 tahun (1989–2010) oleh junta militer Myanmar, namun tetap menjadi simbol perlawanan. Ketangguhan perempuan juga terlihat pada politisi muda Māori Selandia Baru, Hana-Rāwhiti Maipi-Clarke, yang pada 2023 tampil di parlemen dengan membawakan lagu khas Māori sambil merobek kertas sebagai bentuk protes terhadap kebijakan yang merugikan masyarakat adat.

Di Indonesia, perempuan seperti Gadis Arivia dan Karlina Supelli menjadi pelopor perlawanan terhadap rezim Orde Baru. Pada 1998, mereka berdemonstrasi mengusung isu susu sebagai simbol ketidakadilan sosial, menggerakkan mahasiswa hingga akhirnya rezim otoriter Soeharto tumbang.

Baca Juga: Menyambut Kewajiban Halal 2026, JIC Gelar Talk Show Edukatif untuk UMKM dan Masyarakat

Pencanangan Ibu Bangsa di Indonesia

Gerakan “Ibu Bangsa” lahir dari Kongres Perempuan Indonesia II pada 1935 di
Jakarta pada tanggal 20-24 Juli 1935., yang menegaskan peran ibu dalam menanamkan nasionalisme pada generasi muda. Konsep ini menempatkan perempuan sebagai fondasi pembentukan karakter bangsa melalui pendidikan keluarga.

Sejarah perjuangan perempuan Indonesia panjang dan progresif. Ratu Kalinyamat di abad ke-16 berhasil memimpin perlawanan terhadap penjajah Portugis di Jepara. Cut Nyak Dien, hingga tua dan buta, gigih melawan Belanda di Aceh pada akhir abad ke-19.

Penghancuran Gerakan Perempuan oleh Saskia Wieringa

Prof. Saskia Wieringa dari University of Amsterdam, dalam bukunya Sexual Politics in Indonesia (2002), mendokumentasikan penghancuran gerakan perempuan seperti Gerwani pada 1965–1966 oleh propaganda Orde Baru, yang menstigma perempuan progresif sebagai ancaman.

Kondisi Perempuan dalam Perang

Perempuan dan anak selalu menjadi korban utama dalam konflik. Perang Rwanda (1994) menewaskan sekitar 800.000–1 juta orang, termasuk mayoritas etnis Tutsi, dan menyebabkan 100.000–250.000 perempuan diperkosa selama tiga bulan genosida tersebut (United Nations, 2014). Perang Serbia-Kosovo (1998–1999) menyebabkan sekitar 20.000 perempuan Kosovo yang secara sistematis diperkosa oleh pasukan Serbia, meninggalkan trauma berkepanjangan dan banyak anak lahir dari pemerkosaan yang sering disembunyikan karena stigma sosial (Osservatorio Balcani e Caucaso Transeuropa, 2020).

Pada Perang Dunia II, perempuan Rusia kehilangan suami, sementara perempuan Jerman menghadapi pemerkosaan massal pasca-runtuhnya Berlin. Menurut Beevor (2002) dan Gebhardt (2017), sekitar 100.000–2 juta wanita Jerman menjadi korban kekerasan seksual oleh Tentara Merah Soviet pada musim semi 1945, menghasilkan setidaknya 300.000 anak lahir dari pemerkosaan tersebut. Selain itu, tentara Sekutu, termasuk Amerika Serikat, juga terlibat dalam pemerkosaan terhadap sekitar 11.000–190.000 wanita Jerman selama pendudukan pasca-perang, meskipun angka ini masih diperdebatkan karena kurangnya dokumentasi resmi dan banyak kasus yang tidak dilaporkan (Lilly, 2007).

Selama pendudukan Nazi di wilayah Eropa Timur, termasuk Uni Soviet, Polandia, dan Belanda, tentara Wehrmacht dan pasukan Jerman lainnya diperkirakan memperkosa ratusan ribu hingga lebih dari satu juta perempuan, dengan estimasi anak yang lahir dari pemerkosaan mencapai 750.000–1 juta. Di Polandia, ribuan anak lahir dari pemerkosaan massal dan hubungan paksa, banyak di antaranya diculik dan digermanisasi melalui program Lebensborn.

Laporan PBB (2002) mencatat sekitar 200.000–400.000 “wanita penghibur” (ianfu)—eufemisme untuk budak seksual militer—di Asia, termasuk Indonesia, Korea, dan Tiongkok, menjadi korban eksploitasi seksual tentara Jepang selama Perang Dunia II. Mayoritas perempuan.

Halaman:

Tags

Terkini

Kemiskinan, Kesehatan, dan Tanggung Jawab Negara

Jumat, 19 Desember 2025 | 13:03 WIB

Hutan sebagai Korban Gaya Hidup Materialistis

Rabu, 17 Desember 2025 | 19:55 WIB

Bahasa yang Hilang di Balik Cahaya Layar Gadget

Rabu, 17 Desember 2025 | 15:29 WIB

UKW dan Kerendahan Hati Seorang Wartawan

Selasa, 16 Desember 2025 | 13:15 WIB

The Western Wall

Jumat, 12 Desember 2025 | 14:40 WIB

Aset Perusahaan Terbakar? Begini Aspek Perpajakannya

Jumat, 12 Desember 2025 | 13:08 WIB

Kekaguman atas Sikap Kemanusiaan — Catatan Pribadi

Rabu, 10 Desember 2025 | 11:35 WIB