Bahaya Ultranasionalisme.
Ultranasionalisme, yang ditandai dengan nasionalisme ekstrem yang mengutamakan identitas nasional atau etnis di atas segalanya, sering menjadi pemicu konflik berdarah. Dalam konteks Perang Serbia-Kosovo, ultranasionalisme Serbia di bawah Slobodan Milošević memicu pembersihan etnis terhadap etnis Albania di Kosovo, menyebabkan kekerasan sistematis, termasuk pemerkosaan massal sebagai senjata perang. Data dari UNHCR (1999) mencatat lebih dari 800.000 pengungsi Kosovo Albania akibat kampanye pembersihan etnis yang didorong ultranasionalisme.
Ultranasionalisme juga terlihat dalam genosida Rwanda, di mana propaganda ekstrem Hutu menargetkan Tutsi sebagai “musuh bangsa,” memicu pembantaian massal. Laporan PBB (2014) menunjukkan bahwa hate speech yang disebarkan melalui radio RTLM memainkan peran besar dalam memobilisasi kekerasan, dengan dampak jangka panjang berupa trauma sosial dan polarisasi etnis.
Perlunya Pendidikan Ketahanan Keluarga
Bung Hatta pernah berkata, “Mendidik seorang pria hanya mendidik individu, tetapi mendidik seorang perempuan berarti mendidik satu generasi.” Pendidikan ketahanan keluarga oleh perempuan menjadi kunci pembentukan karakter. Dalam konteks Indonesia, pendidikan ketahanan keluarga juga berperan penting untuk membentengi masyarakat dari perpecahan dan perusakan, baik akibat konflik internal maupun pengaruh eksternal.
Pendidikan Ketahanan Keluarga dan Literasi: Benteng Peradaban Bangsa
Sejarah Indonesia mencatat konflik seperti kerusuhan Mei 1998, konflik Ambon (1999–2002), dan konflik Poso (1998–2001), yang dipicu oleh polarisasi etnis, agama, atau sosial-ekonomi, menyebabkan ribuan korban jiwa dan kerusakan infrastruktur.
Data Badan Pusat Statistik (2024) menunjukkan bahwa daerah dengan tingkat pendidikan rendah lebih rentan terhadap konflik sosial. Indeks Pembangunan Manusia (IPM) nasional mencapai 75,02, tetapi di wilayah konflik seperti Papua, angka ini masih di bawah rata-rata nasional. Pendidikan ketahanan keluarga yang dipimpin perempuan dapat menanamkan nilai-nilai toleransi, empati, dan dialog sejak dini, mencegah perpecahan berbasis identitas. Melalui pengajaran nilai-nilai Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika di lingkungan keluarga, ibu dapat membentuk generasi yang menghargai keberagaman dan menolak narasi intoleransi atau ultranasionalisme. Selain itu, pendidikan ketahanan keluarga juga melindungi masyarakat dari dampak negatif budaya hedonisme dan sensasi media sosial.
Laporan Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (2024) mencatat peningkatan kekerasan berbasis gender daring sebesar 300% dibandingkan lima tahun sebelumnya, yang sering dipicu oleh konten sensasional, seperti skandal selebritas. Kasus seperti Lisa Mariana, yang dituduh terlibat skandal dengan Ridwan Kamil dan menolak hasil tes DNA pada Agustus 2025, menunjukkan dampak negatif narasi media sosial. Dalam kasus tersebut, Lisa Mariana mengklaim Ridwan Kamil sebagai ayah biologis anaknya dari perselingkuhan, tetapi tes DNA membuktikan sebaliknya, memicu tuntutan pencemaran nama baik senilai Rp105 miliar. Demikian pula, sensasi yang melibatkan figur seperti Bunda Corla dan Nikita Mirzani menggarisbawahi pentingnya pendidikan karakter untuk mencegah perusakan nilai-nilai sosial.
Pendidikan ketahanan keluarga juga memperkuat ketahanan ekonomi dan sosial keluarga, misalnya melalui literasi keuangan dan pengelolaan konflik rumah tangga. Program seperti Pemberdayaan Kesejahteraan Keluarga (PKK) menunjukkan dampak positif. Laporan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (2024) menyebutkan bahwa keluarga yang mengikuti program literasi keluarga memiliki tingkat ketahanan sosial 20% lebih tinggi dibandingkan keluarga tanpa akses pendidikan serupa. Dengan demikian, pendidikan ketahanan keluarga tidak hanya membentuk karakter individu, tetapi juga menjadi benteng terhadap perpecahan sosial dan degradasi nilai-nilai bangsa.
Gerakan Literasi untuk Pendidikan Karakter
Gerakan literasi menjadi solusi penting untuk pendidikan keluarga. Berdasarkan data UNESCO (2024), tingkat literasi perempuan di Indonesia mencapai 92%, tetapi budaya membaca masih rendah, hanya 0,01 buku per kapita per tahun. Gerakan literasi dapat mencegah perpecahan sosial dengan meningkatkan kesadaran kritis masyarakat terhadap narasi yang memecah belah, seperti ujaran kebencian, propaganda, atau konten sensasional di media sosial. Perempuan, sebagai agen pendidikan keluarga, dapat mengajarkan anak-anak untuk memilah informasi, mengenali hoaks, dan memahami pentingnya keberagaman budaya dan agama.
Literasi juga mendorong dialog intelektual yang memperkuat kohesi sosial. Program perpustakaan keliling di daerah rawan konflik, seperti pasca-konflik Ambon, menunjukkan penurunan ketegangan sosial sebesar 15% di komunitas yang terlibat (Kemendikbud, 2022). Dengan membaca dan menulis, perempuan dapat menanamkan nilai-nilai kritis dan inklusif, mencegah anak-anak terjerumus dalam narasi intoleransi, seperti yang terlihat dalam konflik etnis di Rwanda atau Serbia-Kosovo.
Literasi digital menjadi krusial untuk melawan dampak negatif sensasi media sosial. Data Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) 2024 menyebutkan bahwa 79,5% populasi Indonesia, atau sekitar 221 juta jiwa, adalah pengguna internet, dengan mayoritas terpapar konten negatif seperti hoaks dan ujaran kebencian. Kasus sensasional seperti Lisa Mariana dan figur publik lainnya menunjukkan perlunya literasi digital untuk mengarahkan perempuan dan generasi muda menuju nilai-nilai positif, seperti keberagaman dan integritas. Dengan literasi digital, perempuan dapat mengajarkan anak-anak untuk menggunakan media sosial secara bijak, mengurangi dampak negatif seperti perundungan daring atau penyebaran skandal.
Ketika ibu mengutamakan membaca dan menulis, anak-anak cenderung meniru kebiasaan ini, membentuk generasi yang kritis dan intelektual. Interaksi ibu dalam kehidupan sehari-hari, meski di ranah domestik, dapat membentuk karakter anak yang mampu menolak narasi perpecahan dan berkontribusi pada pembangunan peradaban yang harmonis.