Penulis : Novita Sari Yahya
Di era ketika kecerdasan buatan (AI) seperti ChatGPT menjadi alat penting bagi divisi sumber daya manusia (HRD) dalam menyisir rekam jejak pelamar kerja, kebohongan sekecil apa pun semakin sulit disembunyikan. Jejak digital ibarat tato: sulit dihapus meski bisa ditutupi sementara.
Fenomena ini saya cermati setelah mengikuti diskusi publik tentang penggunaan AI dalam verifikasi biodata. Dari CV hingga riwayat postingan media sosial, semuanya bisa diurai dalam hitungan detik. Dunia kerja memang berubah, namun lebih jauh lagi, teknologi ini mengguncang fondasi demokrasi—membongkar citra semu yang selama ini menjadi senjata utama politik dan hiburan.
Demokrasi Digital vs. Demokrasi Mahal
Bayangkan Nepal. Pada September 2025, generasi muda Gen Z yang memimpin protes antikorupsi menggelar voting publik melalui platform Discord. Mereka memilih Sushila Karki sebagai perdana menteri interim perempuan pertama di negara itu. Proses ini lahir dari kemarahan atas larangan media sosial yang memicu kerusuhan berdarah.
Baca Juga: Pendekatan Multi Disiplin dalam Kuantum Ekonomi
Eksperimen tersebut memang bukan pemilu konstitusional, tetapi menjadi tonggak global: untuk pertama kalinya seorang pemimpin negara dipilih lewat kanal digital (BBC, 2025; RecordTV Africa, 2025). Peristiwa ini membuka mata dunia tentang potensi partisipasi politik yang cepat, murah, dan inklusif—dalam hitungan hari, bukan bulan penuh birokrasi.
Kontras dengan Indonesia. Pemilu 2024 menelan anggaran Rp71,3 triliun (Kementerian Keuangan, 2023). Dana sebesar itu setara dengan program makan gratis nasional untuk jutaan anak selama bertahun-tahun. Ironisnya, dana pajak rakyat lebih banyak tersedot ke panggung sandiwara politik: buzzer berbayar, iklan masif, hingga algoritma media sosial yang memanipulasi opini publik. Demokrasi kita menjadi mahal sekaligus dangkal.
Masalah Kualitas Wakil Rakyat
Mahalnya proses tidak menjamin kualitas hasil. Data Badan Pusat Statistik (2024) menunjukkan dari 580 anggota DPR RI periode 2024–2029, sebanyak 63 orang (10,85%) hanya berpendidikan SMA atau sederajat, sementara 211 anggota tidak mencantumkan riwayat pendidikan lengkap.
Apakah ijazah segalanya? Tidak. Seperti dikatakan Rocky Gerung dalam Indonesia Lawyers Club (tvOne, 2019): “Ijazah hanyalah tanda tamat belajar, bukan tanda selesai berpikir.” Pandangan ini sejalan dengan Sutan Takdir Alisjahbana, yang menekankan kompetensi lahir dari daya kritis, bukan sekadar sertifikat.
Namun, di tengah kompleksitas kebijakan modern—dari transisi energi hingga reformasi ekonomi—standar pengetahuan minimum tetap penting. Bagaimana membangun visi jangka panjang jika fondasi intelektual rapuh?
Teladan Pemimpin Autentik Nusantara
Sejarah Indonesia menyajikan teladan pemimpin otentik. Haji Agus Salim dan Jahja Datoek Kajo adalah dua contoh. Mereka bukan lulusan universitas elite Eropa, tetapi sosok dengan integritas dan visi kebangsaan.