Pertanyaan publik pun mengemuka: di mana konsistensi antara narasi empowerment dan rekam jejak digitalnya? Mengapa juri maupun lembaga verifikasi tampak abai terhadap kontradiksi mencolok ini?
Jawabannya sama dengan dunia politik: lebih mementingkan citra dibanding substansi. Dari panggung hiburan hingga kursi DPR, citra mengalahkan kompetensi. Di dunia hiburan, gaya hidup hedonis dijadikan branding sukses; di politik, buzzer dan manipulasi digital dianggap kampanye efektif. Keduanya mencerminkan budaya halu-halu yang dibentuk algoritma, bukan prestasi nyata.
Fenomena ini bukan hanya di Indonesia. Studi feminist media (Banet-Weiser, 2018) menunjukkan bahwa narasi empowerment sering dijadikan komoditas pemasaran, sementara praktiknya justru menekankan citra tubuh, konsumerisme, dan glamoritas—bukan keberdayaan substantif.
Mental Inlander dan Bayangan Kolonial
Fenomena ini memiliki akar panjang. Sejarawan B.H.M. Vlekke (2008) dan M.C. Ricklefs (2012) mencatat bagaimana pribumi kolonial sering digambarkan sebagai kelas kecil yang mudah terpesona kemewahan. Meski sarat bias, warisan ini tampak dalam politik uang dan perilaku pemilih yang silau viralitas.
Namun sejarah juga membantah stereotip tersebut. Dari “inlander” lahir tokoh-tokoh seperti Soekarno dan Sutan Syahrir, yang menekankan nation and character building. Mereka mengajarkan otentisitas: ucapan, pikiran, dan tindakan harus selaras.
Peran Media dan Teknologi
Media dan institusi publik kini ditantang untuk lebih berani. Verifikasi rekam jejak digital seharusnya menjadi standar: baik untuk calon legislatif maupun figur publik lainnya. AI dapat dipakai sebagai alat deteksi cepat, bukan hanya untuk rekrutmen kerja, tetapi juga demi kualitas demokrasi.
Di Nepal, Discord dipakai untuk melawan korupsi. Di Indonesia, AI bisa membantu membongkar ijazah palsu atau jaringan buzzer. Regulasi juga mendesak. Uni Eropa telah melangkah dengan Digital Services Act (2023), yang mewajibkan platform memberi label pada konten berbayar. Indonesia membutuhkan langkah serupa.
Kembali ke Teladan Sejarah
Kisah Jahja Datoek Kajo dan Agus Salim mengingatkan bahwa kepemimpinan lahir dari aksi nyata, bukan pencitraan digital. Jahja membangun pendidikan dan infrastruktur air bersih; Agus Salim membela rakyat dengan argumen tajam di Volksraad. Mereka menunjukkan bahwa otentisitas lebih berharga daripada sekadar viralitas.
Rocky Gerung benar: ijazah hanyalah tanda tamat belajar, bukan akhir berpikir. Demokrasi digital tidak boleh lagi terjebak pada tipuan branding semu.
Penutup
Indonesia butuh pemimpin otentik, bukan “manusia jadi-jadian” hasil rekayasa algoritma. Dari DPR hingga panggung hiburan, publik berhak menuntut rekam jejak yang nyata.
Sudah waktunya kita berhenti silau pada citra halu-halu. Demokrasi seharusnya melahirkan pemimpin dari integritas dan kerja nyata, bukan dari konten viral atau ijazah palsu.