artikel

Halu-Halu Kecantikan: Antara Impian Cinderella dan Jerat Kapitalisme

Kamis, 25 September 2025 | 06:20 WIB
Sanly Liu juara pertama Miss Universe Indonesia 2025 (viqi)

Oleh : Novita Sari Yahya

Kecantikan dalam Bayang Ilusi

Sebagai perempuan yang pernah berkecimpung di dunia pageant, saya kerap merenungkan bagaimana panggung gemerlap bisa begitu memikat sekaligus menyesatkan. Saya pernah menjadi finalis ajang nasional pada tahun 1995, lalu menjabat sebagai National Director Indonesia untuk kontes kecantikan internasional periode 2023–2024. Dari pengalaman itu, saya belajar bahwa kecantikan bukan semata-mata soal fisik, melainkan perpaduan antara rasa percaya diri dan penerimaan diri.

Namun, di era media sosial saat ini, kecantikan semakin terjebak dalam “halu-halu”—mimpi indah yang dibangun oleh filter, algoritma, dan endorsement. Hampir semua perempuan ingin tampil menarik dan mendapat pengakuan. Pertanyaannya: apakah ini suara alamiah dari naluri biologis, atau mesin kapitalisme yang mengatur standar?

Biologi, Budaya, dan Impian Cinderella

Secara biologis, hormon estrogen berperan besar dalam membentuk perilaku feminin: penuh empati, lembut, dan ingin terlihat menarik. Dorongan ini wajar dalam perspektif evolusi, karena penampilan sering diasosiasikan dengan daya tarik dan keberlangsungan generasi.

Baca Juga: Gelar Industrial Festival 2025, Kemenperin Ajak Gen Z Bangun Masa Depan Industri Nasional

Sejak kecil, banyak gadis tumbuh dengan kisah Cinderella atau boneka Barbie. Cerita dan mainan itu menanamkan persepsi bahwa kecantikan adalah tiket menuju kebahagiaan.

Namun survei Dove Global Beauty and Confidence (2023) menunjukkan lebih dari 80 persen perempuan di seluruh dunia merasa tertekan oleh standar kecantikan yang tidak realistis. Tekanan ini berujung pada rasa tidak puas terhadap tubuh sendiri, bahkan ketika mereka sebenarnya sehat dan normal.

Dengan kata lain, budaya membentuk imajinasi kecantikan sejak dini, lalu kapitalisme memperkuatnya menjadi industri raksasa.

Meledaknya Tren Operasi Plastik

Tekanan sosial terhadap standar fisik kini makin diperkuat dengan tren operasi plastik (oplas). Laporan International Society of Aesthetic Plastic Surgery (ISAPS) 2024 mencatat lebih dari 17,4 juta prosedur bedah estetika dilakukan secara global, meningkat 10 persen dibanding tahun sebelumnya.

Di Indonesia, fenomena ini paling terasa di kalangan Gen Z dan milenial. Survei media pada 2023 menunjukkan peningkatan pasien muda di klinik kecantikan sebesar 25 persen, dengan prosedur populer berupa filler bibir, botox, dan rhinoplasty. Alasan dominan: meningkatkan rasa percaya diri.

 

Halaman:

Tags

Terkini

Kemiskinan, Kesehatan, dan Tanggung Jawab Negara

Jumat, 19 Desember 2025 | 13:03 WIB

Hutan sebagai Korban Gaya Hidup Materialistis

Rabu, 17 Desember 2025 | 19:55 WIB

Bahasa yang Hilang di Balik Cahaya Layar Gadget

Rabu, 17 Desember 2025 | 15:29 WIB

UKW dan Kerendahan Hati Seorang Wartawan

Selasa, 16 Desember 2025 | 13:15 WIB

The Western Wall

Jumat, 12 Desember 2025 | 14:40 WIB

Aset Perusahaan Terbakar? Begini Aspek Perpajakannya

Jumat, 12 Desember 2025 | 13:08 WIB

Kekaguman atas Sikap Kemanusiaan — Catatan Pribadi

Rabu, 10 Desember 2025 | 11:35 WIB