Oleh : Novita Sari Yahya
Kecantikan dalam Bayang Ilusi
Sebagai perempuan yang pernah berkecimpung di dunia pageant, saya kerap merenungkan bagaimana panggung gemerlap bisa begitu memikat sekaligus menyesatkan. Saya pernah menjadi finalis ajang nasional pada tahun 1995, lalu menjabat sebagai National Director Indonesia untuk kontes kecantikan internasional periode 2023–2024. Dari pengalaman itu, saya belajar bahwa kecantikan bukan semata-mata soal fisik, melainkan perpaduan antara rasa percaya diri dan penerimaan diri.
Namun, di era media sosial saat ini, kecantikan semakin terjebak dalam “halu-halu”—mimpi indah yang dibangun oleh filter, algoritma, dan endorsement. Hampir semua perempuan ingin tampil menarik dan mendapat pengakuan. Pertanyaannya: apakah ini suara alamiah dari naluri biologis, atau mesin kapitalisme yang mengatur standar?
Biologi, Budaya, dan Impian Cinderella
Secara biologis, hormon estrogen berperan besar dalam membentuk perilaku feminin: penuh empati, lembut, dan ingin terlihat menarik. Dorongan ini wajar dalam perspektif evolusi, karena penampilan sering diasosiasikan dengan daya tarik dan keberlangsungan generasi.
Baca Juga: Gelar Industrial Festival 2025, Kemenperin Ajak Gen Z Bangun Masa Depan Industri Nasional
Sejak kecil, banyak gadis tumbuh dengan kisah Cinderella atau boneka Barbie. Cerita dan mainan itu menanamkan persepsi bahwa kecantikan adalah tiket menuju kebahagiaan.
Namun survei Dove Global Beauty and Confidence (2023) menunjukkan lebih dari 80 persen perempuan di seluruh dunia merasa tertekan oleh standar kecantikan yang tidak realistis. Tekanan ini berujung pada rasa tidak puas terhadap tubuh sendiri, bahkan ketika mereka sebenarnya sehat dan normal.
Dengan kata lain, budaya membentuk imajinasi kecantikan sejak dini, lalu kapitalisme memperkuatnya menjadi industri raksasa.
Meledaknya Tren Operasi Plastik
Tekanan sosial terhadap standar fisik kini makin diperkuat dengan tren operasi plastik (oplas). Laporan International Society of Aesthetic Plastic Surgery (ISAPS) 2024 mencatat lebih dari 17,4 juta prosedur bedah estetika dilakukan secara global, meningkat 10 persen dibanding tahun sebelumnya.
Di Indonesia, fenomena ini paling terasa di kalangan Gen Z dan milenial. Survei media pada 2023 menunjukkan peningkatan pasien muda di klinik kecantikan sebesar 25 persen, dengan prosedur populer berupa filler bibir, botox, dan rhinoplasty. Alasan dominan: meningkatkan rasa percaya diri.