artikel

Halu-Halu Kecantikan: Antara Impian Cinderella dan Jerat Kapitalisme

Kamis, 25 September 2025 | 06:20 WIB
Sanly Liu juara pertama Miss Universe Indonesia 2025 (viqi)

Namun, ketika dilakukan berulang demi memenuhi ekspektasi publik, kebutuhan itu berubah menjadi obsesi. Normalisasi oplas bahkan kerap terlihat di kalangan selebriti dan sosialita. Warganet sering bergurau bahwa banyak figur publik memiliki wajah serupa karena ditangani oleh dokter yang sama.

Korea Selatan masih menjadi pusat operasi estetika global dengan rasio 24,4 prosedur per 1.000 orang. Indonesia memang lebih kecil (0,569 per 1.000 orang), tetapi grafik meningkat tajam. Fenomena ini menegaskan bahwa oplas bukan lagi sekadar pilihan individu, melainkan tren sosial yang ditopang industri.

Pageant dan Standar Baru

Fenomena estetika modern juga merambah panggung pageant. Di beberapa ajang internasional, peserta yang menjalani operasi tidak lagi dianggap tabu. Bahkan pernah ada kompetisi khusus seperti Miss Plastic Hungary 2009, di mana sponsor utama justru klinik bedah plastik.

Contoh ekstrem lain muncul di Brasil, ketika seorang runner-up Miss Bum-Bum hampir kehilangan nyawa akibat komplikasi implan bokong. Fakta-fakta ini memperkuat kesan bahwa kecantikan dalam kontes sering kali bukan lagi refleksi kepribadian, melainkan hasil intervensi medis yang mahal.

Saat saya mengikuti pageant pada 1995, karisma, intelektualitas, dan kepribadian masih menempati porsi utama. Kini, tekanan tampil “sempurna” membuat banyak peserta rela menghabiskan ratusan juta rupiah demi memenuhi standar yang sebagian besar ditentukan industri.

Biaya, Industri, dan Kapitalisme

Harga operasi estetika di Jakarta cukup bervariasi: rhinoplasty rata-rata Rp20–35 juta, implan payudara Rp50–60 juta, sedangkan facelift atau body contouring bisa lebih dari Rp100 juta, tergantung klinik. Beberapa klinik premium bahkan mematok tarif jauh lebih tinggi.

Jika tujuannya hanya untuk tampil sempurna di media sosial, bukankah lebih murah sekadar mengedit foto dengan aplikasi gratis? Namun pola pikir konsumen sudah dibentuk oleh kapitalisme kecantikan.

Menurut laporan Euromonitor International (2024), nilai pasar kosmetik Indonesia telah menembus Rp100 triliun, didominasi oleh merek global. Iklan gencar menampilkan citra perempuan berkulit putih, bertubuh langsing, dan berwajah simetris—standar yang tidak realistis, tetapi efektif menciptakan konsumen loyal.

Menurut Jurnal Perempuan (2023), kapitalisme kecantikan menjerat perempuan dalam siklus konsumsi tanpa akhir. Sama seperti tas bermerek ratusan juta yang diproduksi massal dengan biaya murah, konsumen membeli simbol status, bukan fungsi. Bedanya, kini “merek” itu melekat di wajah hasil operasi.

Dampak Psikologis: Dari Percaya Diri ke Obsesi

Alasan utama pro-oplas sering kali sederhana: menambah percaya diri. Namun, penelitian yang dipublikasikan di Neliti (2022) menunjukkan perempuan dewasa yang menjalani operasi estetika justru memiliki kecemasan tinggi terhadap citra tubuh. Kepuasan pascaoperasi sering bersifat sementara, lalu disusul keresahan baru.

Fenomena ini berkaitan dengan Body Dysmorphic Disorder (BDD), gangguan di mana seseorang terobsesi pada “cacat” imajiner hingga mendorong tindakan berulang. Alih-alih menyelesaikan masalah, industri kecantikan justru memperkuat lingkaran setan ini.

 

Halaman:

Tags

Terkini

Kemiskinan, Kesehatan, dan Tanggung Jawab Negara

Jumat, 19 Desember 2025 | 13:03 WIB

Hutan sebagai Korban Gaya Hidup Materialistis

Rabu, 17 Desember 2025 | 19:55 WIB

Bahasa yang Hilang di Balik Cahaya Layar Gadget

Rabu, 17 Desember 2025 | 15:29 WIB

UKW dan Kerendahan Hati Seorang Wartawan

Selasa, 16 Desember 2025 | 13:15 WIB

The Western Wall

Jumat, 12 Desember 2025 | 14:40 WIB

Aset Perusahaan Terbakar? Begini Aspek Perpajakannya

Jumat, 12 Desember 2025 | 13:08 WIB

Kekaguman atas Sikap Kemanusiaan — Catatan Pribadi

Rabu, 10 Desember 2025 | 11:35 WIB