Oleh: M. Nasir
⁃ Anggota Forum Wartawan Kebangsaan, dan Mantan Wartawan Harian Kompas.
⁃
Edisi.co.id - DI mana pun wartawan berkarya, baik di platform cetak, online, radio, televisi, maupun media baru seperti podcast, jangan takut dibilang cerewet.
Untuk menjadi wartawan perlu cerewet bertanya, supaya mendapatkan informasi rinci dan akurat.
Cerewet tidak akan membawa wartawan terjerat hukum, asalkan tidak melanggar kode etik jurnaistik dan undang-undang tentang pers nomor 40 tahun 1999. Karena itu wartawan wajib membaca kode etik dan undang-undang pers.
Kalau wartawan banyak diam di depan narasumber, tidak akan menyerap banyak informasi. Wartawan yang tidak aktif bertanya identik dengan wartawan malas, kurang menunjukkan gregetnya sebagai wartawan.
Di luar wawancara, boleh saja wartawan banyak diam, atau bicara
ngalor-ngidul, puja-puji sana-sana sini seperti yang dilakukan banyak wartawan senior. Tetapi kalau sedang melakukan wawancara harus kritis, bahkan cerewet.
“Wartawan itu cerewet, pengecam, penasihat, pengawas, penguasa dan guru bangsa. Empat surat kabar musuh lebih aku takuti daripada seribu bayonet” demikian kata Napoleon Bonaparte yang tersohor dan dikutip di mana-mana.
Napoleon (1769- 1821), sang kaisar dan komandan militer Perancis menggambarkan wartawan sebagai sosok yang cerewet.
Kecerewetan itu pantulan dari pikiran kritis. Pikiran kritis digunakan untuk menggali informasi yang benar.
Kebenaran yang diharapkan sesuai nalar sehatnya, bukan kebenaran yang dipaksakan oleh penguasa atau orang lain yang punya kepentingan.
Kebenaran yang dipaksakan oleh penguasa itu seperti yang dipraktikkan dalam kehidupan bermedia di zaman otoritarian awal abad 15 ketika Johannes Gutenberg baru memperkenalkan mesin cetak untuk media di Eropa.
Setelah otoritarian yang menjadikan media sebagai corong penguasa tumbang, karena tidak sesuai demokrasi, maka hiduplah masa libertarian.
Baca Juga: Fenomena Bola Api di Langit Cirebon yang Diduga Meteor Jatuh di Laut Jawa
Bukan Manusia Pasif