Oleh : Khairunnas
Pendidikan pada hakikatnya adalah media kultural untuk membentuk manusia. Oleh karena itu, manusia dan pendidikan tidak bisa dipisahkan.
Menurut Driyarkara, pendidikan adalah proses “humanisasi”, yaitu sebagai media dan proses pembimbingan manusia muda menjadi dewasa, menjadi lebih manusiawi (“humanior”).
Maka dari itu, secara murni pendidikan bertujuan untuk membentuk insan akademis yang berwawasan dan berkepribadian kemanusiaan.
Pendidikan adalah pranata yang dapat menjalankan tiga fungsi sekaligus yaitu;
Pertama, menyiapkan generasi muda untuk memegang peranan-peranan tertentu dalam masyarakat di masa depan.
Kedua, mentransfer atau memindahkan pengetahuan, sesuai dengan peranan yang diharapkan, dan Ketiga, mentransfer nilai-nilai dalam rangka memelihara keutuhan dan kesatuan masyarakat sebagai prasyarat bagi kelangsungan hidup (survive) masyarakat dan peradaban.
Baca Juga: Sebagian Jakarta Cerah Berawan Siang Ini
Namun lembaga pendidikan dewasa ini belum dapat menjalankan fungsinya tersebut secara maksimal.
Salah satu kritik yang cukup tajam mengenai kondisi pendidikan ini datang dari Paulo Freire.
Menurutnya, pendidikan dewasa telah seperti bank, dimana murid menjadi celengan dan guru adalah orang yang menabung, atau memasukkan uang ke celengan tersebut.
Freire mengatakan, “konsep pendidikan gaya bank telah mengakibatkan terjadinya kebekuan berpikir dan tidak munculnya kesadaran kritis pada murid”. Murid hanya mendengarkan, mencatat, menghapal dan mengulangi ungkapan-ungkapan yang disampaikan oleh guru, tanpa menyadari dan memahami arti dan makna yang sesungguhnya.
Inilah yang disebut Freire sebagai kebudayaan bisu (the culture of silence).
Dalam bukunya, Pendidikan Kaum Tertindas, Freire menegaskan bahwa pola pendidikan yang selama ini terjadi adalah model “watak bercerita” (narrative): seorang subyek yang bercerita (guru) dan obyek-obyek yang patuh dan mendengarkan (murid-murid).