Edisi.co.id- Sehari yang lalu masyarakat Indonesia dihebohkan oleh peristiwa tragis yang merenggut jiwa seorang bocah. Peristiwa yang terjadi di Kabupaten Brebes itu menyentak kesadaran kita, betapa rapuhnya keluarga Indonesia. Keluarga yang semestinya menjadi tempat yang aman dan nyaman bagi anak justru berubah menjadi malapekata. Keluarga yang mestinya menjadi tempat anak tumbuh kembang dan merajut harapan justru berubah jadi nestapa.
Peristiwa horor yang terjadi di Brebes itu tidak hanya merenggut nyawa seorang bocah, tetapi juga ada dua korban lainnya. Beruntung keduanya masih sempat diselamatkan, dan kini sedang mendapat perawatan intensif di rumah sakit. Ketiganya adalah kakak beradik dan masih berusia bocah, yang mestinya mendapat pengasuhan dan kasih sayang dari orang tuanya.
Orang tua yang mestinya jadi tempat perlindungan anak justru jadi penyebab nasib tragis bocah-bocah malang ini. Ketiganya adalah korban kekerasan dari ibunya sendiri.
Tragis memang, sang ibu menggorok leher ketiga anaknya sendiri. Entah setan apa yang merasukinya hingga tega melakukan perbuatan biadab tersebut. Entah beban apa yang sedang dipikulnya hingga tega membunuh darah dagingnya sendiri.
Peristiwa yang tidak bisa diterima akal sehat ini memantik keprihatinan berbagai pihak. Penegak hukum pun telah bergerak untuk mengusut tuntas kasus tersebut. Namun ada banyak pertanyaan yang mesti kita jawab, apakah gerangan yang terjadi sebenarnya, sehingga seorang ibu tega melakukan hal itu.
Baca Juga: Tanamkan Nilai-Nilai Kearifan Lokal di Era Global Bagi Siswa, SMP PCI Hadirkan Doktor Sosiologi UPI
Pepatah "Kasih anak sepanjang jalan, kasih ibu sepanjang masa" tidak berlaku dalam peristiwa ini. Apakah nilai-nilai luhur ini sudah memudar dalam masyarakat kita? Saya rasa tidak. Peristiwa di Brebes itu hanya salah satu dari pengecualian keagungan sosok seorang ibu.
Kanti Utami, sosok ibu pelaku pembunuhan itu, bukanlah sosok yang umum ada dalam keseharian kita. Sepanjang yang kita lihat dan rasakan ibu adalah sosok yang penyanyang dan penuh welas asih. Ibu selalu menjadi pelindung utama bagi anak-anaknya. Banyak kisah yang sudah kita dengar, betapa kehadiran seorang ibu telah berhasil mengantarkan anak-anaknya menuju keberhasilan.
Sosok Kanti adalah anomali dari mayoritas ibu di dunia. Apa yang telah dia lakukan harus menjadi pelajaran buat kita semua. Sosok-sosok seperti Kanti harus sudah tidak ada lagi di dunia.
Tulisan ini mencoba mengkaji pangkal masalah kenapa peristiwa tersebut terjadi, agar tidak terjadi lagi di masa depan. Menurut pengakuannya kepada pihak kepolisian, Kanti melakukan itu untuk menyelamatkan anaknya dari kesulitan hidup. Mereka lebih baik mati dari pada mengalami kesusahan seperti yang saya alami jawab Kanti ketika ditanya aparat penegak hukum.
Jawaban ini menjadi pertanyaan bagi kita, apa sebenarnya yang terjadi dengan Kanti? Setelah ditanya lebih jauh, maka terbukalah sebenarnya apa gerangan yang terjadi dengan Kanti.
Ada beban hidup yang sudah tidak lagi sanggup dihadapi oleh Kanti, sehingga dia depresi dan stres. Kondisi inilah kemudian yang menyebabkan peristiwa tragis itu terjadi. Kanti tidak mampu lagi berpikir secara jernih, sehingga melakukan tindakan yang irasional.
Pemicu utama Kanti mengalami depresi adalah beban ekonomi dan hubungannya yang kurang harmonis dengan suaminya. Sejak di-PHK dari pekerjaannya di Jakarta, dia memutuskan untuk pulang kampung, dan menumpang pada bibinya. Sementara suaminya tetap tinggal di Jakarta, namun dengan pekerjaan yang tidak menentu, kadang bekerja kadang tidak.
Keterbatasan ekonomi inilah yang menjadi pemicu utama Kanti mengalami stres berat hingga membunuh anaknya. Menghidupi tiga anak tanpa sumber penghasilan yang jelas tentu bukanlah sesuatu yang mudah. Jika kita tidak memiliki kesabaran ekstra, sudah pasti bisa berujung malapetaka.
Artikel Terkait
Pemerintah Cegah Stunting Melalui Tim Pendamping Keluarga
Sinergitas BKKBN dan KUA Untuk Program Konseling Pranikah