Edisi.co.id- Persatuan politik di Indonesia tidak lepas dari peran penting agama Islam. sebagai agama mayoritas di Indonesia, di dalamnya juga masih terdapat banyak aliran, baik yang melembaga dalam organisasi tertentu, maupun yang masih sembunyi-sembunyi.
Sebut saja NU (Nahdlatul Ulama), sebagai organisasi Islam terbesar di Indonesia. Sebelum NU turun ke gelanggang politik (1936 – 1945), satu-satunya partai politik Islam hanya Masyumi.
Partai ini dihuni kalangan muslim modernis. Pada masanya, Masyumi memiliki hubungan yang sangat baik dengan partai kiri, yakni Partai Sosialis Indonesia (PSI). Keduanya memiliki politisi yang berasal dari latar belakang suku dan pendidikan yang notabene sama.
PSI dan Masyumi berisi kaum intelektual yang pro-demokrasi parlementer dan sangat kritis melawan”Demokrasi Terpimpin”nya Soekarno.
Keduanya sepakat beroposisi pada NASAKOM, sebuah organisasi rezim Soekarno yang dibuat untuk meromantiskan hubungan yang tidak harmonis antara orang-orang Komunis, kalangan Islam taat, dan orang-orang nasionalis.
Namun, pada akhirnya NASAKOM mengalami kegagalan yang menyebabkan pembubaran Partai Komunis Indonesia (PKI) usai gerakan G 30 S/ PKI.
Setelah itu, pada masa orde baru Soeharto, keberadaan PSI dan Masyumi dilarang keras dan tidak pernah menampakkan taringnya lagi.
Baca Juga: Karakteristik Kelinci, Hewan yang Menggemaskan
Dalam buku ini, Ken Miichi merekam begitu detail gerakan Islam dalam mewarnai percaturan politik di Indonesia.
Seperti NU, jika di runtut secara singkat, sejak pertama kali didirikan pada tanggal 31 Januari 1926 hingga 1945, hanya fokus berkiprah di pentas nasional sebagai organisasi sosial-keagamaan.
Mulai terjun di dunia politik dan satu partai dengan Masyumi pada tahun 1945 – 1952. Pada tahun 1952 – 1973, NU memilih pisah ranjang dengan Masyumi dan menjadi parpol mandiri.
Lalu, pada tahun 1984, NU berkomitmen untuk kembali ke Khittah 1926, yakni fokus mengabdikan diri menjadi organisasi sosial-kemasyarakatan dan meninggalkan hiruk-pikuk gelanggang pertarungan politik praktis.
Selain NU, peneliti berkebangsaan Jepang ini juga merekam gerakan Islam lainnya, seperti Syiah, sebagai golongan minoritas, bahkan golongan Islam yang dianggap keras.
Hal ini dilatarbelakangi dengan maraknya kasus Bom Bali dan disusul oleh beberapa peristiwa kekerasan lainnya. Sehingga, ia merasa perlu mengetahui pikiran dan gerakan golongan tersebut.
Penelitian yang dilakukan oleh lulusan Graduate School of Internasional Cooperation Studies University, Kobe, Jepang ini diawali dengan pertemuannya bersama Muchus Budi, seorang wartawan senior Detik, sekaligus seniornya di UNS.
Artikel Terkait
Menhub, Budi Karya Sumadi Lepas Touring 20 Kendaran Listrik Jakarta-Bali
Bahas Berbagai Tantangan Generasi Z, SMP PCI Serial Lecture 8 Hadirkan Pakar Psikolog dan Praktisi Pendidikan
Mohammad Idris: Kita Jadikan Depok Sebagai Kota Sejuta Maulid
Karakteristik Kelinci, Hewan yang Menggemaskan
Campuran Ilmu Agama dan Pengetahuan di Aceh Lahirkan Tokoh Bangsa