Dari Tragedi Sengkon dan Karta: Menuju Kedaulatan Pangan dan Kesejahteraan Petani Indonesia.

photo author
- Rabu, 1 Oktober 2025 | 10:03 WIB

 

edisi.co.id – Kisah Sengkon dan Karta menjadi inspirasi bagi saya menuliskan cerita ini. Dua petani miskin asal Desa Bojongsari, Bekasi, dituduh melakukan perampokan dan pembunuhan pada 1974. Meski bersikeras tidak bersalah, aparat memaksa keduanya mengaku dengan kekerasan. Pada 1977, Sengkon divonis 12 tahun penjara dan Karta 7 tahun.

Kebenaran baru terungkap setelah seorang narapidana lain, Gunel, mengaku sebagai pelaku sebenarnya. Tragedi ini mencatat sejarah kelam: petani kecil yang miskin bisa dengan mudah terpinggirkan, bahkan menjadi korban salah tangkap. Tempo menyebut kasus ini sebagai tonggak lahirnya mekanisme Peninjauan Kembali (PK) dalam sistem hukum Indonesia.

Narasi ini menunjukkan bahwa petani bukan hanya menghadapi kesulitan ekonomi, tetapi juga kerentanan sosial dan hukum.

Baca Juga: Hari Tani Nasional 2025: Memperjuangkan Marhaen di Tengah Tantangan Pertanian

Indonesia: Negara Agraris, tapi Bergantung Impor

Indonesia kerap digambarkan sebagai negara agraris dengan tanah yang subur. Namun, data impor pangan justru memperlihatkan hal sebaliknya. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat impor beras pada semester I 2025 mencapai US$90,75 juta, sementara ekspor hanya US$172.837.

Ketergantungan impor ini paradoksal. Negeri yang mestinya mampu memenuhi kebutuhan pangan justru bergantung pada pasokan luar. Kondisi ini mengancam kedaulatan pangan sekaligus melemahkan posisi petani dalam negeri.

Orde Baru dan Hilangnya Generasi Petani

Sejak Orde Baru, pembangunan lebih condong ke industrialisasi. Migrasi besar-besaran dari desa ke kota untuk menjadi buruh pabrik mempercepat hilangnya generasi petani. Lahan pertanian menyempit akibat alih fungsi untuk industri dan perumahan.

Akibatnya, anak-anak petani enggan melanjutkan profesi orang tuanya. Berita media kerap menyoroti kisah anak petani yang sukses keluar dari desa—bukan sebagai petani, melainkan pegawai negeri, birokrat, atau pekerja kantoran. Bahkan lulusan pertanian pun lebih memilih bekerja di bank atau sektor formal ketimbang membuka usaha tani.

Seperti kata Tan Malaka dalam Madilog:

> “Bila kaum muda yang telah belajar di sekolah dan menganggap dirinya terlalu tinggi dan pintar untuk melebur dengan masyarakat yang bekerja dengan cangkul dan hanya memiliki cita-cita yang sederhana, maka lebih baik pendidikan itu tidak diberikan sama sekali.”

Potret Kemiskinan dan Pendidikan Petani

Halaman:
Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi.

Editor: Rohmat Rospari

Tags

Artikel Terkait

Rekomendasi

Terkini

Kemiskinan, Kesehatan, dan Tanggung Jawab Negara

Jumat, 19 Desember 2025 | 13:03 WIB

Hutan sebagai Korban Gaya Hidup Materialistis

Rabu, 17 Desember 2025 | 19:55 WIB

Bahasa yang Hilang di Balik Cahaya Layar Gadget

Rabu, 17 Desember 2025 | 15:29 WIB

UKW dan Kerendahan Hati Seorang Wartawan

Selasa, 16 Desember 2025 | 13:15 WIB

The Western Wall

Jumat, 12 Desember 2025 | 14:40 WIB

Aset Perusahaan Terbakar? Begini Aspek Perpajakannya

Jumat, 12 Desember 2025 | 13:08 WIB

Kekaguman atas Sikap Kemanusiaan — Catatan Pribadi

Rabu, 10 Desember 2025 | 11:35 WIB
X