Dusun Nunusan terpisah jauh dari desa induknya, Desa Rantau Langsat. Hanya ada satu jalur menuju dusun itu, yaitu jalur sungai. Perjalanan hanya bisa ditempuh dengan perahu kayu selama dua sampai lima jam, tergantung kondisi ketinggian air.
Medan tempuh yang sulit dan letak dusun yang terpencil membuat daerah tersebut tanpa listrik dan sinyal telekomunikasi.
Aktivitas mandi, bersuci, mencuci, hingga buang hajat dilakukan di tepian sungai. Begitu hari mulai gelap, Dusun Nunusan bagai dusun mati.
Sekitar empat hingga lima tahun yang lalu, ustaz terakhir memberikan pembinaan agama di Desa Nunusan. Setelah itu, suku Talang Mamak yang telah berislam di sana hanya mendengar khutbah setiap Jumat dari musala kecil mereka.
Mendengar kabar kedatangan dai yang ditempatkan khusus di Desa Nunusan, mereka tak berhenti bertanya, Apakah ustaz tersebut jadi datang? Kapan ustaznya akan tiba? Dan pertanyaan-pertanyaan sejenis.
Kedatangannya pun disambut hangat. Banyak di antara mereka yang menawarinya untuk menetap di rumah masing-masing.
“Respon masyarakat sangat terbuka dan menerima dengan baik. Bahkan seminggu sebelum saya datang, mereka sudah bertanya kepada salah satu mahasiswa STID M. Natsir apakah saya jadi datang ke dusun mereka,” terang dai muda asal Aceh tersebut.
Dari Musala Kecil Pedalaman, Dakwah Tetap Menyala
Tidak mudah membentuk rutinitas masyarakat pedalaman untuk mengikuti kajian rutin, terlebih mereka sangat bergantung pada hasil hutan.
Dari pagi pukul 07.00 hingga petang hari, masyarakat desa masuk hutan untuk mencari damar. Bukan hanya para orang tua, anak-anak pun ikut keluar masuk hutan mengambil damar. Namun demikian, tidak setiap saat mereka memperoleh hasil.
“Terkadang masyarakat tidak dapat membeli beras karena tidak mendapat hasil dari hutan,” kata Ustaz Awi.
Karena itu, Ustaz Awi beberapa kali ikut menyusuri hutan belantara, selain memusatkan dakwahnya di musala kecil Nurul Huda dan berdakwah dari rumah ke rumah.
Mengajar anak-anak Talang Mamak menjadi aktivitas dakwah utama Ustaz Awi. Dari pagi hingga siang hari, ia mengajar anak-anak SD.
Sebuah sekolah rintisan, kelas filial, berdiri di Dusun Nunusan. Di sanalah anak-anak suku Talang Mamak mengenal pendidikan. Namun, banyak dari mereka yang tidak bisa melanjutkan pendidikan bahkan harus berhenti di tengah jalan karena keterbatasan biaya.
Meski demikian, anak-anak tersebut sangat bersemangat datang ke sekolah. Setiap hari mereka berjalan kaki, ada yang menempuh jarak lebih dari satu jam tanpa menggunakan sepatu atau alas kaki.
Artikel Terkait
Qurban Pertama & Satu-satunya di Pedalaman Blitar, Jawa Timur
Alhamdulillah, Laznas Dewan Dakwah Raih Penghargaan Program Unggulan Dakwah Pedalaman
Di Gedung DPR,MPR RI, Dewan Dawah Resmi Melepas 137 Guru Ngaji ke Pedalaman Negeri Indonesia
AFKN dan UIN Walisongo Semarang Teken MoU Kerja Sama Dakwah Pedalaman
Kiprah Daiyah Pertama di Pedalaman, Ustadzah Ila Beri Warna Baru di Tanasumpu
Tak Ada Bekas Luka usai Sempat Diculik ke Suku Pedalaman Jambi, Bilqis Awalnya Tak Mau Ikut saat Dijemput Polisi