Memahami Pertikaian Antara Jokowi dan Surya Paloh

- Jumat, 19 Mei 2023 | 23:55 WIB
Adu taktik Jokowi-Surya Paloh. Demi bangsa atau sekadar tahta?
Adu taktik Jokowi-Surya Paloh. Demi bangsa atau sekadar tahta?

 

Oleh : Smith Alhadar (Penasihat Institute for Democracy Education/IDe)

Edisi.co.id - Koruptor memang harus dihukum. Hatta besok langit akan runtuh. Koruptor adalah musuh semua: Tuhan, rakyat, bangsa, dan negara.

Kemarin, 17 Mei 2023, Kejaksaan Agung menahan Menkominfo Johnny G Plate, kader Partai Nasdem, terkait kasus korupsi proyek BTS Kominfo yang merugikan negara hingga Rp 8 triliun. Sementara, pada 2022, Johnny tercatat memiliki kekayaan Rp 192 miliar.

Lepas dari apakah Johnny korupsi atau tidak, kasusnya tak bisa dilepaskan dari isu pilpres. Jokowi kecewa berat atas sikap Ketum Nasdem Surya Paloh mengusung Anies Baswedan sebagai bakal capres partainya.

Dukungan Nasdem, yang diikuti PKS dan Partai Demokrat, memungkinkan Anies menjadi salah satu bacapres yang akan bersaing di pilpres 2024.

Ternyata, hal yang terlihat normal ini, dipandang Jokowi sebagai pembangkangan Paloh terhadap otoritasnya. Otoritas apa? Jokowi menganggap pilpres sebagai mainan di bawah wewenangnya.

Memang sebagai partai pendukung pemerintah, Nasdem diberi tiga kursi menteri. Tapi, melalui media miliknya -- koran Media Indonesia dan Metro TV -- kontribusi Paloh bagi kemenangan Jokowi dalam dua pilpres terakhir sangat besar.

Baca Juga: Ridwan Boim Terpilih menjadi Ketua Umum ILUNI SMAN 84 Periode 2023-2026

Kendati mandatnya sebagai presiden akan tuntas tahun depan -- karena itu Nasdem berikhtiar mencari calon pengganti Jokowi yang dipandang sesuai kebutuhan bangsa saat ini -- Jokowi tak bisa menerimanya.

Di mata Jokowi, Anies adalah antitesanya. Karena itu diduga ia tak bakal melanjutkan legacy dan program pembangunan Jokowi. Salahnya di mana? Di mana-mana di negara demokrasi, pilpres bertujuan menghadirkan pemimpin baru.

Tentunya dengan gagasan-gagasan baru juga. Pilpres berangkat dari kesadaran bahwa tatanan sosial, aspirasi rakyat, dan tantangan internal serta eksternal negara  senantiasa berubah, sehingga diperlukan pemimpin baru yang sesuai dengan setting sosial dan politik baru.

Selain untuk memungkinkan terjadi sirkulasi pemimpin secara teratur, pilpres juga membuka peluang bagi terjadinya koreksi terhadap kebijakan pemerintahan sebelumnya. Maka, menjadi aneh manakala Jokowi menentang premis ini.

Ia ingin penggantinya secara 100% melanjutkan legacy dan program pembangunannya.

Kalau saja legacy-nya bisa dipertanggungjawabkan secara moral dan saintifik serta program pembangunannya terbukti berhasil, mungkin ada rasionalitas dan moralitas di situ untuk dilanjutkan penggantinya.

Halaman:

Editor: Asri Al Jufri

Tags

Artikel Terkait

Terkini

Tidak Selalu Hitam Putih

Senin, 5 Juni 2023 | 16:05 WIB

Impresi Pancasila

Rabu, 31 Mei 2023 | 15:14 WIB

Bulan Mei dan Pers Kita

Rabu, 31 Mei 2023 | 09:00 WIB
X