Edisi.co.id - Pemilu 2024 sudah diambang pintu. Selain memilih anggota legislatif (DPR-RI, DPRD Provinsi, DPRD Kabupaten/Kota, dan DPD), kita juga akan memilih Presiden dan Wakil Presiden. Komisi Pemilihan Umum (KPU) telah menetapkan tiga pasangan calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres). Sejauhmana ketiga pasangan ini telah menjalani proses pengkaderan sehingga layak untuk memimpin bangsa ini ke depan?
Di era reformasi sekarang, rekrutmen kepemimpinan relatif lebih terbuka bagi setiap warga negara. Berbeda dengan era sebelumnya. Kita tahu, selama 32 tahun pemerintahan Orde Baru, rekrutmen kepemimpinan baik di tingkat lokal seperti bupati dan gubernur, maupun di tingkat nasional, sangat ditentukan oleh “restu” pemerintah dalam hal ini presiden. Malahan untuk memimpin suatu organisasi kemasyarakatan (ormas), tak lepas dari intervensi pemerintah. Padahal, jabatan presiden sendiri tak pernah berganti, meski setiap lima tahun diadakan pemilu.
Kini di era reformasi, jabatan presiden dibatasi maksimal dua periode, dan sejak pilpres tahun 2004, proses pemilihan dilakukan secara langsung. Tidak lagi melalui Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR). Begitu pula untuk jabatan bupati/walikota dan gubernur, dibatasi maksimal dua periode dan dipilih secara langsung.
Era keterbukaan itu telah dimanfaatkan oleh kader-kader terbaik bangsa untuk mengikuti kompetisi baik di tingkat kabupaten/kota, provinsi, maupun di tingkat nasional untuk jabatan presiden dan wakil presiden. Mereka umumnya para tokoh masyarakat dengan rekam jejak yang cukup panjang dan sudah teruji kualitas, kapasitas, dan integritasnya.
Baca Juga: Netralitas Jangan Hanya Slogan, Ketua DKPP Sebut Pemilu Induk Semang Demokrasi
Kita bersyukur bahwa kita tidak pernah kekurangan calon pemimpin. Terbukti sejak empat kali pilpres langsung (tahun 2004, 2009, 2014, dan 2019) bahkan di tahun 2024 nanti, selalu muncul beberapa pasangan capres-cawapres. Tidak pernah terjadi calon tunggal. Di era Orde Baru pun sebetulnya kita tidak kekurangan calon pemimpin. Namun karena sistem politik yang otoriter, peluang bagi munculnya calon pemimpin itu jadi terhambat.
Karenanya, ketika kebebasan dibuka, masyarakat menyambut dengan antusias. Hal tersebut tampak di awal pilpres langsung tahun 2004, yang menampilkan lima pasangan capres-cawapres. Antusiasme itu tak pernah pudar sebagaimana tercermin pada beberapa pilpres berikutnya. Bahkan pada pilpres 2024, meskipun telah dibatasi dengan penetapan presidentian threshold 4%, masih bisa memunculkan tiga pasang capres-cawapres.
Kaderisasi calon pemimpin
Mengamati proses rekrutmen kepemimpinan nasional sejak sebelum kemerdekaan hingga di masa kemerdekaan dan era reformasi sekarang ini, umumnya calon pemimpin itu tumbuh melalui berbagai organisasi dan kelembagaan sosial yang ada. Di era pra kemerdekaan, kelembagaan yang ada baru berupa organisasi pergerakan melawan penjajah termasuk organisasi keagamaan dan berbagai laskar pejuang kemerdekaan. Banyak juga pemimpin informal, seperti tokoh agama atau pengelola pesantren, yang kemudian bergabung dalam gerakan merebut dan mempertahankan kemerdekaan.
Setelah Indonesia merdeka, kondisinya sedikit berbeda, terutama sejak berdirinya partai-partai politik dan mulai berkembangnya birokrasi pemerintahan. Sumber kepemimpinan di era ini semakin beragam, selain organisasi sosial yang sudah ada, juga ada partai politik dan birokrasi. Peran dunia pendidikan juga semakin penting, khususnya lembaga pendidikan tinggi. Keterlibatan mahasiwa dan kaum muda terpelajar semakin menentukan yang sebelumnya sudah tampak seperti pada pergerakan Boedi Oetomo yang dimotori para pelajar Stovia.
Baca Juga: Dompet Dhuafa Salurkan Ribuan Paket Sanitasi Bagi Perempuan di Jalur Gaza
Peranan pemuda terpelajar khususnya mahasiswa semakin menentukan, sejalan dengan makin maraknya perguruan tinggi di berbagai kota besar terutama di Pulau Jawa. Sebagai negara berkembang yang baru lepas dari penjajahan, keberadaan mahasiswa yang merupakan kelompok minoritas terpelajar, sangat diharapkan bisa menjadi pemimpin di masa depan.
Harapan itu disadari betul oleh para mahasiswa dimana mereka selalu hadir dan terlibat aktif dalam setiap momentum yang menyangkut masa depan bangsa. Malahan untuk lebih mematangkan diri sebagai calon pemimpin, mereka juga terlibat dalam berbagai aktivitas pengkaderan melalui organisasi kepemudaan dan kemahasiswaan yang mereka dirikan.
Kita mengenal Himpuan Mahasiswa Islam (HMI), yang berdiri tanggal 5 Februari 1947, satu setengah tahun setelah kemerdekaan. Juga ada Perhimpunan Mahasiswa Katholik Republik Indonesia (PMKRI), berdiri 25 Mei 1947; Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI), berdiri 9 Februari 1950; dan Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI), berdiri 23 Maret 1954. Belakangan menyusul Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) pada 17 April 1960, dan Ikatan Mahasiawa Muhammadiyah (IMM), tanggal 14 Maret 1964.