Kedaulatan Pangan sebagai Pilar Welfare State
Satu bangsa dikatakan mandiri ketika kedaulatan pangan tercapai. Pangan bukan sekadar soal gizi, tetapi soal perut lapar. Sejarah menunjukkan banyak revolusi dipicu oleh persoalan kelaparan.
Karena itu, negara wajib menjamin ketersediaan pangan melalui petani lokal. Kebijakan pangan tidak boleh hanya berbicara soal gizi, tetapi harus menjamin bahwa petani mampu memproduksi pangan dengan harga yang adil.
Petani Harus Diberi Hak Istimewa
Petani layak diperlakukan dengan hak istimewa, bahkan lebih dari pejabat yang hanya bisa berpose di depan publik. Alasan sederhana: petani menjamin ketersediaan pangan.
Maka kebijakan harus memprioritaskan:
Subsidi pupuk dan bibit yang mudah diakses.
Permodalan melalui lembaga mikro syariah seperti BMT.
Harga panen yang adil sehingga petani tidak merugi.
BMT dan Filantropi Desa: Jalan Kemandirian
Model BMT (Baitul Maal wat Tamwil) terbukti efektif dalam membantu petani mengakses modal. Dompet Dhuafa, misalnya, menjalankan program MUFAKAT yang menyalurkan modal usaha bagi petani dan dhuafa. Hingga pertengahan 2025, program ini menjangkau 140 penerima manfaat di Yogyakarta.
Selain itu, perlu didirikan yayasan filantropi independen di desa, dengan subdivisi perbankan mikro BMT dan pendampingan petani. Sumber dananya bisa berasal dari CSR perusahaan, CSR BUMD, infak, dan sedekah. Sistem semacam ini memungkinkan petani lepas dari jeratan birokrasi yang rawan korupsi.
Pendidikan: Jalan Modernisasi Petani
Karena mayoritas petani hanya lulusan SD, pendidikan non-formal sangat penting. Alternatif yang bisa dilakukan:
Kejar Paket C berbasis pertanian, agar petani bisa belajar sambil tetap bekerja.