Karena ia diduga memperalat lembaga hukum untuk meraih tujuan politiknya, otomatis ia berprasangka presiden penggantinya berpotensi melakukan hal yang sama, yang dapat membawanya ke meja hijau.
Ketiga, ia ditekan oligarki -- mungkin juga oleh Cina -- untuk menyingkirkan Anies Baswedan.
Memang harus diakui Anies dilihat sebagai bakal capres yang berbahaya bagi kepentingan mereka. Ia punya rekam jejak dalam soal ini.
Sebagaimana kita ketahui, Anies menghentikan 13 pulau reklamasi milik oligarki bernilai Rp 500 triliun.
Yang juga mengagetkan mereka, ia tak mempan dirayu, ditekan, diancam, dan disogok untuk meloloskan proyek itu.
Sikap Jokowi yang pro-oligarki bukan lagi rahasia. Secara kasat mata hal itu dapat dilihat pada kebijakan-kebijakan dan produk-produk Omnibus Law.
Baca Juga: Polri: Tiadakan Razia Dilakukan oleh Tim Khusus yang Memiliki Surat Perintah dan Bersertifikasi
Keempat, Jokowi ingin mengakhiri mandatnya dengan jaminan keamanan bagi keluarganya, terutama bisnis dan karier politik anak-anak dan menantunya.
Tahun lalu, Ubedillah Badrun, dosen UNJ, melaporkan anak-anak Jokowi ke KPK terkait dugaan korupsi, kolusi, dan nepotisme.
Terkait politik, Gibran Rakabuming kini adalah Walikota Solo yang berambisi menjadi presiden seperti bapaknya. Putera Jokowi yang lain, Kaesang Pangarep, diplot menjadi Wali Kota Depok pada pemilu mendatang.
Menantunya, Bobby Nasution, adalah Walikota Medan yang tentunya punya keinginan untuk menduduki jabatan lebih tinggi lagi.
Tapi bisnis dan karier politik keluarga Jokowi sangat sulit untuk berkembang -- bahkan mungkin dipermasalahkan presiden pengganti -- tanpa kerja sama dan dukungan oligarki.
Dalam konteks ini, Anies tak dapat diharapkan mendukung kepentingan keluarga Jokowi.
Dari perspektif inilah kita bisa memahami ketakutan Jokowi pada Anies. Sementara, Surya Paloh melihat Anies dari perspektif yang berbeda.
Pertama, ia prihatin melihat perpecahan masyarakat sejak 2014 karena perbedaan pilihan politik.