artikel

Menyelami Pengawasan dan Penegakan Kode Etik Terhadap 'Wakil Tuhan'

Sabtu, 9 Oktober 2021 | 10:25 WIB


 
Oleh: Andryan

Perubahan konstitusi dalam periode 1999-2002, telah banyak mengubah struktur ketatanegaraan Indonesia. Salah satu hal yang menarik untuk memberantas dan mencegah kemerosotan lembaga peradilan, yakni lahirnya Komisi Yudisial sebagai lembaga negara baru, dan pembentukannya berdasarkan UUD 1945. Pasal 24B ayat (1) UUD 1945, menyebutkan Komisi Yudisial bersifat mandiri yang berwenang mengusulkan pengangkatan hakim agung dan mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim.

Selanjutnya Pasal 40 UU Kekuasaan Kehakiman menyebutkan apa yang harus dilakukan Komisi Yudisial dalam rangka pengawasan hakim, (1) Dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim dilakukan pengawasan eksternal oleh Komisi Yudisial. (2) Dalam melakukan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Komisi Yudisial mempunyai tugas melakukan pengawasan terhadap perilaku hakim berdasarkan  Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim.

Istilah ‘menjaga dan ‘menegakkan’ kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim dalam wewenang Komisi Yudisial sebagaimana disebut Pasal 24B ayat (1) UUD 1945 mengandung makna preventif dan represif.

Baca Juga: Ini 5 Cara Membangun Rasa Percaya Diri di Tempat Kerja Baru

‘Menjaga’ berarti Komisi Yudisial melakukan serangkaian kegiatan yang dapat menjaga hakim agar tidak melakukan tindakan yang melanggar kode etik dan pedoman perilaku hakim. ‘Menegakkan’ bermakna Komisi Yudisial melakukan tindakan represif terhadap hakim yang telah melanggar Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim (KEPPH). Tindakan itu dapat berbentuk pemberian sanksi.

Adapun tugas Komisi Yudisial dalam konteks melakukan pemantauan dan pengawasan terhadap perilaku hakim adalah Komisi Yudisial menerima laporan masyarakat dan/atau informasi tentang dugaan pelanggaran KEPPH. Komisi Yudisial dapat meminta keterangan atau data kepada Badan Peradilan dan/atau Hakim.

Dari penjelasan tersebut di atas, dapat dipahami bahwa Mahkamah Agung adalah menjalankan fungsi pengawasan internal, sedangkan Komisi Yudisial menjalankan fungsi pengawasan eksternal.

Oleh karena yang diawasi adalah sama-sama hakim di badan peradilan, maka pasti ada irisan kewenangan (yang disebut sebagai tumpang tindih kewenangan). Kedua lembaga sama-sama berwenang mengawasi hakim.

Tentu saja ada bedanya. Komisi Yudisial hanya berwenang mengenai dugaan pelanggaran KEPPH dan hanya berwenang terhadap hakim. Sebaliknya, Mahkamah Agung bukan hanya berwenang memeriksa dugaan pelanggaran KEPPH tetapi juga teknis yudisial, administrasi dan keuangan; dan Mahkamah Agung berwenang mengawasi aparat pengadilan selain hakim.

Buku yang berjudul "Pengawasan Hakim dan Penegakan Kode Etik di Komisi Yudisial", ini setidaknya memuat 8 (Delapan) Bab yang membahas mengenai pengawasan hakim dan penegakan kode etik.

Pada Bab I, mengulas mengenai Negara Hukum, Komisi Yudisial dan Dinamika Kewenangan. Sebagai lembaga negara yang lahir dari rahim reformasi, pembentukan KY sebagai bagian dari tuntutan sejarah bangsa setelah sekian lama menjalani kehidupan berbangsa dan bernegara di bawah tekanan kekuasaan rezim Orde Baru. Ketidakadilan sosial-ekonomi-politik-hukum yang berlangsung kurang lebih 32 tahunan telah membangkitkan kesadaran masif masyarakat untuk melakukan perlawanan kepada rezim Orde Baru. Masyarakat sebagai pemegang kedaulatan negara menuntut adanya kontrak sosial baru untuk mengatur hubungan warga negara dengan negara dalam sistem negara hukum yang demokratis melalui perubahan konstitusi. (hlm. 7)

Baca Juga: Mendidik Dengan Kasih dan Cinta

Pada Bab 2, memuat mengenai Penegakan Etika Hakim dan Pelaksanaan Kewenangan Komisi Yudisial.  Pengawasan yang dilakukan oleh KY merupakan mekanisme normal, positif dan konstitusional dalam negaran hukum yang demokratif agar kekuasaan kehakiman tidak menyimpang atau disalahgunakan. Penyalahgunaan wewenang yang dilakukan oleh para hakim merupakan tanda urgensi dibutuhkannya kontrol bukan saja dari internal lembaga pengadilan tetapi juga dari luar pengadilan.

Menurut Jimly Asshiddiqie, dibentuknya Komisi Yudisial adalah agar warga masyarakat di luar struktur resmi lembaga parlemen dapat dilibatkan dalam proses pengangkatan, penilaian kinerja dan kemungkinan pemberhentian hakim.

Halaman:

Tags

Terkini

Kemiskinan, Kesehatan, dan Tanggung Jawab Negara

Jumat, 19 Desember 2025 | 13:03 WIB

Hutan sebagai Korban Gaya Hidup Materialistis

Rabu, 17 Desember 2025 | 19:55 WIB

Bahasa yang Hilang di Balik Cahaya Layar Gadget

Rabu, 17 Desember 2025 | 15:29 WIB

UKW dan Kerendahan Hati Seorang Wartawan

Selasa, 16 Desember 2025 | 13:15 WIB

The Western Wall

Jumat, 12 Desember 2025 | 14:40 WIB

Aset Perusahaan Terbakar? Begini Aspek Perpajakannya

Jumat, 12 Desember 2025 | 13:08 WIB

Kekaguman atas Sikap Kemanusiaan — Catatan Pribadi

Rabu, 10 Desember 2025 | 11:35 WIB