Kita lupa bahwa keberhasilan yang diraih akal selama ini ketika ia beroperasi pada jalurnya secara natural, karena memang ia dipersiapkan untuk itu.
Akan tetapi, sekiranya akal beroperasi di jalur "alam manusia", berarti ia beroperasi dalam alam yang tidak mengenal batas dan amat kabur.
Akibatnya, akal menemukan jalan buntu dan keluar dengan konklusi yang keliru.
c. Mencari Kebenaran dengan Sikap Jernih
Yang dimaksud di sini ialah sikap objektif sebagai pencari kebenaran dari wahyu Al-Qur'an, bukan dengan tendensi tertentu, seperti mencari-cari dalil untuk melemahkan pendapat lawan.
Hakikat Al-Qur'an adalah parameter untuk mengukur kebenaran suatu paham, teori, dan filsafat-filsafat yang ada, oleh karena itu harus diketahui secara utuh dan dengan cara langsung dari Al-Qur'an dan As-Sunnah.
Sebaliknya, perjalanan yang ditempuh pemikiran manusia untuk sampai kepada kebenaran amat lamban, sebab ia tidak mampu menemukan kebenaran secara spontan tanpa bantuan kekuatan lain.
d. Kebenaran dalam Al-Qur'an Senantiasa Paralel
Yang dimaksud di sini ialah keharusan membandingkan antara kesimpulan yang didapat dari Al-Qur'an--melalui metode deduktif--dengan kebenaran-kebenaran Al-Qur'an yang mutlak.
Hal ini didasarkan pada prinsip bahwa kebenaran dalam Al-Qur'an tidak akan mengalami kontradiksi dengan sesamanya, karena ia berasal dari sumber yang sama.
Jika ditemukan adanya kelainan, secara otomatis kesimpulan yang diperoleh adalah keliru dan ditolak.
Hal ini didasarkan pada dua ketentuan yang aksiomatik dan disepakati oleh kaum muslimin dan didukung oleh metodologi ilmiah dalam kritik sejarah, yaitu sebagai berikut.
1. Semua ayat-ayat Al-Qur'an berasal dari Allah SWT, dan Allah menjanjikan pemeliharaan mutlak atas kesucian Al-Qur'an.
2. Al-Qur'an secara keseluruhan merupakan satu kesatuan yang utuh. Antara sebagian dengan bagian lainnya bersesuaian dan tidak ditemui kontradiksi.
e. Bersikap Jujur, tanpa Prakonsepsi