Namun masyarakat Betawi tidak pernah membeda-bedakan kedua entitas ustadz ini secara strata sosial. Kendati ada perbedaan hal itu terjalin secara alami dan terjadi secara fungsional. Misalnya,, soal pendirian madrasah dan masjid diserahkan kepada ustadz middle high, sementara meramaikannya menjadi tugas bersama. Begitu juga pada saat memimpin rapat, merapikan administrasi dan surat-menyurat, umumnya ustadz pada tahu posisi masing-masing. Mereka tidak saling serobot.
Ketiga, tinggi atas atau upper high. Inilah yang disebut profesor. Namun strata ini tidak dikenal oleh masyarkat Betawi. Yang orang Betawi pahami, profesor adalah guru besar (bukan guru gede) pada perguruan tinggi. Profesor bukan ustadz dan ustadz bukan profesor. Kendati Betawi sudah banyak melahirkan profesor, namun tidak ada satu pun di antara mereka yang dipanggil ustadz. Padahal di perguruan tinggi di Timur Tengah, al-Ustadz adalah profesor. Kata "ustadz" itu sendiri ada yang mengatakan serapan dari bahasa Persia. Hal ini bisa didentifikasi karena kata "ustadz" termasuk nomina jamid bukan musytaq.*
Artikel Terkait
Faktor-Faktor Keberhasilan Dakwah Nabi
Empat Sifat Utama yang Bisa Mengantarkan ke Surga. Apa Saja?
Perangai Ilmiah
Aku Dan Nabiku
Usiamu Mungkin Udah Tua! Tapi, Semangatmu tak Akan Pernah Tua