Oleh: Samsul Arifin.
Pemimpin Redaksi Media Siber Bromartani.com, Santri dari salah satu pesantren di Bojonegoro
Edisi.co.id - Setiap tanggal 22 Oktober, bangsa Indonesia memperingati Hari Santri Nasional, sebuah momentum bersejarah yang tak lepas dari Resolusi Jihad Nahdlatul Ulama (NU) tahun 1945. Pada tanggal itu, para ulama dengan tegas menyerukan kewajiban berjihad mempertahankan kemerdekaan Indonesia dari ancaman penjajahan yang ingin kembali menancapkan kuku kekuasaan.
Seruan itu bukan sekadar panggilan perang, tetapi panggilan iman dan cinta tanah air. Dari pesantren-pesantren di Jawa Timur, ribuan santri dan kiai turun ke medan laga, mengorbankan nyawa demi kedaulatan bangsa. Maka benar bila dikatakan, kemerdekaan Indonesia bukan hanya hasil diplomasi dan senjata, tetapi juga hasil doa, keringat, dan darah para santri.
Delapan dekade telah berlalu sejak Resolusi Jihad dikumandangkan. Kini, wajah perjuangan santri berubah.
Musuh yang dihadapi bukan lagi kolonialisme bersenjata, melainkan kolonialisme gaya baru: kolonialisme informasi dan disinformasi.
Era digital telah membuka ruang luas bagi siapa pun untuk berbicara, tetapi juga bagi siapa pun untuk menyebar fitnah.
Nilai kebenaran kerap dikalahkan oleh kecepatan tayangan, dan etika jurnalistik kadang tenggelam di tengah kompetisi rating dan sensasi.
Beberapa waktu lalu, masyarakat santri di tanah air dikejutkan oleh sebuah tayangan televisi nasional yang memuat pemberitaan tentang pesantren, namun dengan cara yang menyudutkan dan tidak berimbang. Tayangan itu menimbulkan persepsi keliru, menodai citra lembaga pendidikan Islam yang selama ini menjadi benteng moral bangsa.
Baca Juga: Fifi Aleyda Yahya Apresiasi AMKI Bangun Narasi Positif di Ruang Digital
Sebagai seorang santri dan juga jurnalis, saya merasakan getirnya situasi itu. Di satu sisi, kita menghormati kebebasan pers sebagai bagian dari demokrasi. Namun di sisi lain, kita juga harus tegas menolak pemberitaan yang mengabaikan prinsip keadilan dan keberimbangan.
Pesantren bukan hanya lembaga pendidikan agama. Ia adalah pusat peradaban, tempat tumbuhnya karakter, moral, dan cinta tanah air. Maka ketika pesantren disudutkan tanpa data dan verifikasi yang memadai, itu bukan sekadar melukai institusi, tetapi melukai sejarah panjang pengabdian santri terhadap negeri.
Santri di era ini dituntut untuk tidak hanya pandai membaca kitab kuning, tetapi juga mampu membaca dinamika dunia digital.
Kemampuan literasi media, literasi data, dan literasi informasi menjadi kebutuhan mendesak.
Artikel Terkait
3 Poin Keteladan Kiai Anwar Manshur, Sosok Ulama Sepuh di Ponpes Lirboyo yang Jadi Panutan Santri hingga Pejabat Negara
MUI Apresiasi dan Dukung Santri Film Festival 2025: Ruang Ekspresi Kreatif bagi Santri
Panitia Gelar Rakor Persiapan Pembukaan Santri Film Festival 2025, Ketua Komite Bunda Neno: Persiapan Capai 90 Persen
Santri Film Festival 2025 Dimulai, Menbud Fadli: Sinema Santri Digaungkan Sebagai Gerakan Kebudayaan Nasional
Film Sebagai Sarana Dakwah, Ustaz Erick Yusuf Ajak Santri Berkontribusi di Santri Film Festival 2025
Lewat Santri Film Festival 2025, Aktor Dedi Mizwar Dorong Santri Berkontribusi ke Industri Film secara Profesional