Catatan Eka Putra
(Wartawan, Pengurus PWI Pusat)
"Wartawan itu tahu sedikit tentang banyak hal".
Edisi.co.id - Itu ungkapan yang kerap diajarkan guru-guru dalam kelas-kelas pelatihan pelatihan jurnalistik. Maksudnya, wartawan diharapkan mampu menuliskan berbagai berita dengan memberikan analisis secukupnya tanpa harus menguasai akar masalah secara mendalam.
Tapi itu dulu. Di era tsunami informasi sekarang wartawan tidak cukup tahu sedikit tentang banyak hal. Dia harus tahu banyak. Penulisan berita mendalam, investigasi, atau catatan opini terhadap suatu isu mengharuskan wartawan tahu banyak dan mendalam. Jika tidak, ia akan semakin dikalahkan oleh zaman -- di mana lawan media bukan hanya konten kreator media sosial, tetapi juga mesin artifical inteligence (AI).
Berat memang. Tetapi cuma itu cara agar pers tetap menjadi referensi terbaik bagi masyarakat dan pengambil kebijakan.
Kehadiran AI atau kecerdasan buatan telah mengubah lanskap media secara signifikan. Algoritma AI mampu mengumpulkan, menganalisis, dan menyajikan informasi dengan kecepatan dan akurasi tinggi. Hal ini menantang peran tradisional wartawan sebagai penyampai informasi utama. Untuk tetap relevan, wartawan harus menawarkan nilai tambah yang tidak dapat diberikan oleh mesin, yaitu analisis mendalam, konteks historis, pemahaman nuansa sekitar topik bahasan, dan tentu saja "rasa" tulisan. Yang terakhir ini kerap menjadi ciri khas setiap wartawan atau gaya tulisan sesebuah media -- seperti gaya tulisan seorang Dahlan Iskan. Ya, Pak Dahlan sangat terkenal dengan rasa tulisannya yang khas.
Semua sudah tahu, Dahlan Iskan adalah salah satu sosok wartawan dan pemimpin media yang berhasil mempertahankan relevansi di tengah perubahan zaman. Sebagai mantan CEO Jawa Pos Group dan Menteri BUMN, gaya penulisannya dikenal lugas, personal, dan sering kali menyelipkan humor serta refleksi pribadi. Keunikan gaya Dahlan Iskan juga terlihat dalam caranya menyampaikan opini dengan sudut pandang yang tajam, tetapi tetap ringan dicerna. Ia tidak sekadar melaporkan fakta, tetapi juga memberikan perspektif yang lebih dalam, berdasarkan pengalaman dan pemahamannya yang luas di dunia bisnis, politik, dan kehidupan sosial. Inilah yang membuat tulisannya selalu dinantikan oleh banyak orang.
"Rasa" tulisan ala Dahlan Iskan ini membuat tulisannya tidak hanya informatif tetapi juga menarik untuk dibaca, seolah-olah pembaca sedang mendengarkan cerita langsung dari seorang teman. Dengan pendekatan yang dekat dengan pembaca, Dahlan mampu menghidupkan berita dan opini tanpa kehilangan bobot analisisnya. Robot AI tak akan mampu menirunya.
Baca Juga: Soal Rekonstruksi Gaza, KH Bachtiar Nasir Kritisi Proposal Donald Trump dan Mesir
Nah, "rasa" tulisan seorang Dahlan Iskan tersebut benar-benar dinikmati ratusan wartawan yang hadir pada perayaan Hari Pers Nasional (HPN) 2025 di Banjarmasin, Kalimantan Selatan, Sabtu (8/2/2025) lalu. Pada sesi "Summit Nasional Media Massa" Pak Dahlan turut hadir, dan ia benar-benar hadir memukau peserta dengan materi dan gayanya yang otentik itu. Cara ia menyampaikan buah pikirnya, membuat kita semua yang hadir seperti "tersirap". Diam dan menunggu semua kalimat-kalimat yang akan ia ucapkan berikutnya.
Pak Dahlan seperti biasanya berbicara penuh energik, penuh data serta gagasan-gagasan sekara. Dan kita seperti sedang membaca tulisan-tulisannya di Disway. Tulisannya membuat kita seperti mendengar ia bicara langsung. Sebaliknya, ia berbicara seperti kita sedang membaca tulisannya. Khas sekali.
"Ada atau tanpa AI, media tetap harus hidup," kata Pak Dahlan menggungah semangat hadirin. Ia mengingatkan, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan oleh media sekarang ini dalam menyikapi dunia digitalisasi yang semakin canggih. Harus ada beberapa perubahan yang harus dilakukan. Antara lain bagaimana media menyikapi dampak penyakit media sosial (medsos) terhadap masyarakat; yaitu tulisan pendek membuat banyak orang ikut berfikir dangkal dan malas membaca tulisan yang panjang-panjang. Apakah kita ikut gaya medsos demi dekat dengan selera masyarakat kekinian, atau tetap dengan style media lama yang suka menulis panjang meski takut tak dibaca orang ramai. Nah, inilah tantangannya, sekaligus peluang. Yuk, kita bahas.
Di era digital, kata Pak Dahlan, kebenaran tak lagi hanya soal fakta, tetapi juga soal bagaimana fakta itu dibingkai. Dia menyoroti bahwa di masa kini, kepalsuan bisa dipersepsi sebagai kebenaran jika terus-menerus diulang dan diperkuat oleh berbagai pihak. Teknologi digital yang berkembang pesat justru kerap dimanfaatkan untuk menciptakan framing, hoaks, dan manipulasi informasi.
Meski begitu, jurnalisme berbasis fakta tetap tak tergantikan. Kebenaran yang akurat, etis, dan terdokumentasi adalah pondasi utama yang membedakan jurnalisme sejati dari sekadar narasi yang viral. Ada norma dan etika yang melekat pada manusia si penulis berita. Tanpa etika manusia bukan lagi manusia, melainkan kriminal. Inilah yang membedakan pers yang berintegritas dari sekadar mesin pembuat konten. "Rasa" tulisan yang dimiliki mesin AI.