artikel

Generasi Emas : Kuat Iman, Tajam Ilmu

Senin, 20 September 2021 | 17:25 WIB
(Photo : indonesiaemas.com)

Oleh: Khairunnas

Secara historis, Indonesia mengalami kebangkitan pertama ketika kemerdekaan digaungkan pada tanggal 17 Agustus 1945. Ketika itu, para pendiri bangsa berhasil mengusir penjajah dan menjadikan Indonesia sebagai bangsa yang sejajar dengan bangsa-bangsa lainnya. Kebangkitan kedua dicanangkan setelah 100 tahun Indonesia merdeka, yaitu pada tahun 2045, dengan lahirnya Generasi Emas Indonesia.

Generasi emas adalah generasi yang memiliki keseimbangan antara kemampuan akademik, keterampilan dan karakter. Generasi emas memiliki integritas yang baik, berkarakter sesuai dengan nilai-nilai luhur bangsa Indonesia, dan memiliki kompetensi yang mumpuni di bidangnya. Generasi emas adalah mereka yang memiliki kemampuan adaptif terhadap perubahan dan dapat memanfaatkan kemajuan teknologi digital sebagai modal untuk berkontribusi dalam pembangunan bangsa dan negara.

Generasi emas memiliki kecerdasan yang komprehensif, meliputi aspek intelektual dan juga spiritual. Generasi Emas adalah generasi yang kuat iman dan tajam ilmu. Mereka memiliki kecerdasan untuk bekerja secara produktif dan inovatif, tetapi juga mampu berinteraksi secara sosial dengan baik karena memiliki jiwa yang kuat dan hati yang bening buah dari olah spiritual yang berlangsung sepanjang hidupnya.

Baca Juga: Isi Kuliah di LP3I Depok, Imam: Akan Memberikan Beasiswa untuk Masyarakat tidak Mampu Tapi Berprestasi

Melahirkan generasi yang kuat iman dan tajam ilmu adalah tanggung jawab semua komponen bangsa. Pemerintah dan masyarakat, khususnya keluarga dan dunia pendidikan harus mampu mengembangkan potensi yang dimiliki oleh setiap anak Indonesia agar tumbuh dan berkembang secara maksimal. Setiap manusia yang lahir dibekali dengan 6 potensi, yaitu rasio (pemikiran), akal (al-aqlu), hati (al-qalbu), nafsu, jiwa (ruh), dan raga (jasmani). Dengan keenam potensi ini, manusia dapat menjalankan tugasnya dengan baik mengelola dan mengeksplorasi alam semesta untuk kemajuan pedaraban.

Rasio atau pemikiran tidak sama artinya dengan akal (al-aqlu). Rasio lebih berkaitan dengan segala sesuatu yang hanya dapat ditangkap atau diperoleh melalui pengalaman indera manusia. Sedangkan akal memiliki unsur yang lebih luas, tidak hanya mencakup rasio, tetapi juga meliputi fitrah manusia yang berkaitan dengan keimanan.

Kesadaran rasio berkaitan dengan kemampuan manusia menganalisa fenomena alam semesta secara ilmiah. Rasio sama sekali terlepas dari faktor keimanan. Orang yang semata-mata menggunakan rasio akan melahirkan pemikiran yang sekuler. Oleh sebab itu, rasio tidak akan mampu mencapai kebenaran hakiki.

Dalam Islam banyak perintah agar manusia menggunakan rasionya untuk memikirkan alam semesta seperti bintang, tumbuh-tumbuhan, binatang, planet, lautan, gunung, bumi, dan fenomena alam lainnya. Namun, karena rasio tidak bisa mengantarkan manusia kepada kebenaran yang hakiki, maka masih banyak manusia yang ingkar terhadap keesaan dan kekuasaan Tuhan, meskipun telah berhasil mengungkap rahasia alam semesta.

Akal (al-aqlu) terdiri dari unsur rasio dan hati (rasa). Dilihat dari pengertian ini, maka akal lebih lengkap ketimbang rasio. Dengan akal manusia tidak hanya bisa mengungkap misteri alam semesta, tetapi juga bisa menemukan jawaban atas keesaan dan kekuasaan Tuhan. Namun akal juga tidak akan menemukan kebenaran yang diridhai oleh Tuhan jika tidak tunduk terhadap kebenaran wahyu.

Ada dua perbedaan yang mendasar antara rasio dan akal. Pertama, tidak semua yang masuk akal itu dapat dirasionalkan, sebab kemampuan rasio manusia sangat terbatas, apa lagi kalau hatinya buta sehingga tidak dapat meyakini kebenaran. Oleh karena itu, banyak manusia yang tidak mau mengakui kekuasaan Tuhan meskipun mereka telah menggunakan rasionya.

Baca Juga: Program Migrasi TV Analog ke Digital, Kominfo akan Bagikan STB Gratis

Kedua, sesuatu yang rasional tentu dapat diterima oleh akal, sebab dalam akal manusia terdapat unsur hati dan keimanan. Namun akal manusia tidak akan berfungsi dengan baik jika unsur rasa atau hatinya tidak baik (suci). Oleh sebab itu, manusia hanya akan sampai kepada kebenaran yang hakiki jika dia menggunakan hatinya.

Hati (qalbu) memiliki dua makna, yaitu sepotong daging yang terletak di sisi kiri dada, dan perasaan halus (lathifah) yang melekat pada manusia. Pada tingkat tertentu qalbu bercampur maknanya dengan ruh dan nafsu. Oleh sebab itu, tidak ada batasan yang tegas antara makna qalbu, ruh, dan akal kecuali bahwa qalbu merupakan sitilah bagi indera keagamaan secara halus. Sedangkan akal dapat memahami pengetahuan-pengetahuan teoritis dan universal yang menyebar pada pengetahuan yang berbeda-berbeda.

Halaman:

Tags

Terkini

Kemiskinan, Kesehatan, dan Tanggung Jawab Negara

Jumat, 19 Desember 2025 | 13:03 WIB

Hutan sebagai Korban Gaya Hidup Materialistis

Rabu, 17 Desember 2025 | 19:55 WIB

Bahasa yang Hilang di Balik Cahaya Layar Gadget

Rabu, 17 Desember 2025 | 15:29 WIB

UKW dan Kerendahan Hati Seorang Wartawan

Selasa, 16 Desember 2025 | 13:15 WIB

The Western Wall

Jumat, 12 Desember 2025 | 14:40 WIB

Aset Perusahaan Terbakar? Begini Aspek Perpajakannya

Jumat, 12 Desember 2025 | 13:08 WIB

Kekaguman atas Sikap Kemanusiaan — Catatan Pribadi

Rabu, 10 Desember 2025 | 11:35 WIB