Dimulai dari Al Quran sendiri yang tidak tabu menyebutkan kata pasar, ada dua ayat dalam surat Al Furqon yang langsung menyebutkan kata pasar dalam bentuk jamak (plural ) aswaq , yaitu ayat nomor 7 dan 20
Firman Allah : “ Dan mereka berkata: "Mengapa rasul itu memakan makanan dan berjalan di pasar-pasar? Mengapa tidak diturunkan kepadanya seorang malaikat agar malaikat itu memberikan peringatan bersama-sama dengan dia?,
Dalam ayat 20 : “ Dan Kami tidak mengutus rasul-rasul sebelummu, melainkan mereka sungguh memakan makanan dan berjalan di pasar-pasar. Dan kami jadikan sebahagian kamu cobaan bagi sebahagian yang lain. Maukah kamu bersabar?; dan adalah Tuhanmu maha Melihat.
Para ulama Tafsir menjelaskan bahwa orang – orang musyrik menolak jika seorang rasul atau utusan Allah mempunyai aktifitas ekonomi di pasar, sedangkan Rasulullah Muhammad SAW, seperti kebanyakan manusia sering mondar mandir dan keluar masuk pasar karena urusan bisnis dan urusan dakwah.
Dan begitu juga keadaan rasul – rasul lain sebelum nabi Muhammad shalllahu layhi wa sallam, mereka akrab dengan pasar untuk pemenuhan kebutuhan hidupnya.
Baca Juga: Kepemimpinan itu Keteladanan, Bukan Kehebatan Berkata-kata
Al Qurthubi mengatakan bahwa masuk pasar adalah perkara yang mubah dalam rangka mencari rizki dan urusan bisnis.
Bahkan pasar adalah sebuah instrumen yang sangat diperhatikan oleh nabi Muhammad , tercatat dalam sejarah setelah beliau mendirikan masjid di kota Madinah, beliaupun membangun pasar tanpa lalai meletakkan nilai – nilai yang menjadi rules of the game ( aturan ) dalam kegiatan perdagangan, antara lain : penghapusan monopoli, penimbunan, keistimewaan buat sebagian pedagang, talaqqiy rukban ( mencegat pedagang sebelum sampai di pasar), dilarangnya profesi simsaar ( calo ataupun makelar) yang merugikan, dll.
Pandangan orang musyrikin yang menolak rasul jika cirinya keluar masuk pasar, menggambarkan pemahaman yang parsial dan sempit terhadap ajaran agama.
Dengan kata lain seorang yang mengerti dan mendakwahi agama dilarang untuk beraktifitas bisnis di pasar. Akibatnya terjadilah distorsi (penyimpangan) dalam kegiatan bisnis.
Diriwayatkan dari sahabat Umar radhallahu anhu dia berkata “dilarang masuk ke dalam pasar kecuali orang yang mengerti agama, jika tidak maka dia akan memakan harta riba (yang diharamkan) sengaja ataupun tidak” .
Ketika pelaku bisnis di era modern saat ini menafikan nilai ibadah dalam bermuamalah kepada sesama manusia, maka yang terjadi adalah kecurangan ataupun penipuan (fraud) dan keserakahan (greedy). Menaikkan harga karena ingin meraih dan meraup keuntungan yang sebesar-besarnya.
Prinsip yang dianut membeli dengan murah dan menjual semahal-mahalnya, persis seperti yang diabadikan dalam Al Quran surat Al Muthaffifin. Mereka yang menerapkan standar ganda, jika untuk kepentingan mereka yang diinginkan adalah timbangan dan takaran yang sempurna, sebaliknya jika untuk kepentingan orang lain maka mereka melakukan kecurangan.
Ibnu Khaldun beberapa abad lalu menjelaskan penyebab terjadinya kenaikan harga antara lain : banyaknya kebutuhan (high demand), kebanggaan para profesional terhadap profesi mereka yang menyebabkan mahalnya jasa ataupun upah mereka.
Dan ketiga banyaknya mutrafiin ( orang yang bermewah-mewahan). Tiga hal tersebut sangat relevan dalam kondisi saat ini, saat semakin banyak keinginan segelintir orang untuk berlomba-lomba dalam kemewahan dan membanggakan diri dengan kenikmatan yang diberikan oleh Allah.***