Inspirasi Berpolitik dari Sang Guru

photo author
- Sabtu, 20 Juli 2024 | 15:39 WIB
Dr. Muhammad Fahmi, ST, M.Si Penulis buku Cita-citaku Jadi Presiden
Dr. Muhammad Fahmi, ST, M.Si Penulis buku Cita-citaku Jadi Presiden

Oleh: Dr. Muhammad Fahmi, ST, MSi *)

Secara tidak sengaja, sepulang dari kantor dalam perjalanan penulis mendengarkan lagu dari Iwan Fals dengan judul Sumbang. Diantara liriknya yang begitu Kembali menggelitik penulis, Apakah slamanya politik itu kejam? Apakah selamanya dia datang'tuk menghantam? Ataukah memang itu yang sudah digariskan? Menjilat, menghasut, menindas, memperkosa hak-hak sewajarnya, Maling teriak maling sembunyi balik Dinding pengecut lari terkencing-kencing Tikam dari belakang lawan lengah diterjang lalu sibuk mencari kambing Hitam. Itulah syair kritis lagu Iwan Fals yang begitu fenomenal

Seketika itu juga penulis langsung menerawang jauh ke belakang. Teringat akan pesan khusus yang pernah disampaikan guru ngaji penulis di Kota Angin Mamiri Ustad Hasanuddin. Beliau pernah menyampaikan bahwa politik itu jika tidak bersandar pada agama, maka berpotensi menghadirkan kemunafikan, ketidakpastian dan hubungan antar manusia jadi sulit ditebak.

Pada faktanya, Sebagian masyarakat kita masih banyak yang berpendapat bahwa politik itu kotor dan harus dijauhi. Sehingga anggapan seperti itu membuat masyarakat kita sangat apatis, apriori (benci), dan alergi dengan politik dan segala sesuatu yang berhubungan dengannya. Hal itu mungkin terjadi karena hasil pantauan masyarakat dilapangan dan lewat media terhadap politik selama ini selalu menunjukkan gejala yang buruk. Orang-orang yang terlibat di dalamnya dapat bergeser orientasi politiknya menjadi politik imperialis, berkhianat, koruptor dan semena-mena. Apalagi, setelah panggung politik dunia dirasuki politik Machiavelli yang menghalalkan segala cara, semakin menjadi-jadilah kebencian masyarakat terhadap politik.

Baca Juga: EKOSPIRITUAL

Pameo tentang “Dalam politik tidak ada musuh dan kawan abadi, yang ada adalah kepentingan abadi”, seolah menjadi realitas dan fakta yang terkadang semakin membingungkan masyarakat. Hari ini menjadi kawan, besok bisa jadi menjadi lawan hanya karena perbedaan kepentingan yang secara bersamaan mengatasnamakan rakyat.

Lantas pertanyaannya, apakah politik itu selalu buruk/kotor? Seperti pertanyaan Iwan Fals dalam syair lagu berjudul Sumbang. Itulah yang harus dimengerti oleh masyarakat secara benar, Karena Persepsi yang keliru terhadap politik tentu akan melahirkan sikap-sikap yang keliru pula. Padahal, politik itu keharusan yang tak bisa dihindari. Karena secara praktis, politik jika bersandar pada agama dan etika merupakan aktivitas yang mulia dan bermanfaat karena berhubungan dengan peng-organisasian urusan masyarakat/publik dalam bentuk yang sebaik-baiknya.

Tak ada orang yang bisa menghindari politik karena setiap orang pasti hidup di suatu negara, sedangkan negara adalah organisasi politik tertinggi. politik merupakan bagian dari kehidupan manusia dan tidak ada seorang pun yang bisa lepas dari politik. Begitu kita lahir, kita sudah bergabung dengan organisasi tertinggi yakni negara. Tidak ada seorangpun yang hidup tanpa terikat oleh politik. Orang yang ingin mempengaruhi kebijakan negara haruslah merebut kekuasaan politik. Orang yang menyatakan tidak mau terlibat dalam politik dan membiarkan kekuasaan politik diambil orang, maka dia terikat pada kebijakan-kebijakan pemenang kontes politik, betapa pun tak sukanya dia pada kebijakan itu. Karena itu, dapat dikatakan bahwa politik itu adalah fitrah atau sesuatu yang tak bisa dihindari.

Sementara itu, Media sosial saat ini telah menjadi wadah kampanye yang dimanfaatkan baik oleh simpatisan, tim sukses, relawan maupun sang kandidat pasangan calon (paslon). Penggunaan media sosial sebagai media kampanye sebenarnya tidak salah, akan tetapi pengguna medsos seringkali salah dalam menunjukkan sikap politiknya di dunia maya. Banyak pengguna yang menyebarkan informasi mengandung fitnah dan penghinaan atas person / individu, suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA). Sindir menyindir menjadi fenomena yang berkesinambungan, saling balas membalas. Semua merasa diri yang paling benar, semua merasa diri yang paling baik, paling unggul, pantas diperhitungkan dan dipilih.

Kurangnya kesadaran para pelaku politik dalam berpolitik menjadi hal yang perlu menjadi perhatian bagi kita bersama, hal ini dapat dilihat dari maraknya sajian tontonan video yang beredar di media sosial dengan tidak mengindahkan kaidah-kaidah agama dan kebangsaan seperti yang ada di sila-sila Pancasila. Kesadaran masyarakat dalam beretika di media sosial menjadi hal yang sangat penting, supaya tidak terjadi hal-hal yang dapat merugikan diri sendiri dan merugikan orang lain sebagai sesama pengguna media sosial.

Medsos saat ini sangat bisa dimanfaatkan oleh partai politik dan paslon untuk berkampanye. Medsos terbukti bisa lebih signifikan membentuk opini publik, terutama di daerah perkotaan yang sebagian besar masyarakat telah menggunakan smartphone. Namun demikian tidak bisa dengan seenaknya medsos dijadikan ajang berperang didunia maya untuk kepentingan tertentu, kepentingan politik dengan mengabaikan nilai nilai yang terkandung dalam Pancasila.

Dalam konteks kebangsaan, pemahaman seluruh rakyat Indonesia terhadap Pancasila sebagai ideologi dan pedoman di Negara Kesatuan Republik Indonesia benar-benar sedang diuji. Pertanyaan besar bagi bangsa ini adalah benarkah bangsa kita ini memegang dengan teguh Pancasila sebagai Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia? Ataukah hal itu hanya sebagai hiasan kata-kata yang keluar dari mulut saja? Para politikus, tokoh-tokoh partai politik, paslon, relawan, paham tentang Pancasila sebagai ideologi dan pedoman bernegara?

Jika jawabannya memang ‘iya’, idealnya penerapan sila-sila dalam Pancasila secara global menjadi kerangka berpikir dan berperilaku seluruh masayarakat Indonesia, yang selalu menerapkan dan menggambarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, sehingga dalam melakukan apapun selalu mengingat Tuhan. Selalu mengedepankan rasa Kemanusiaan yang Adil dan Beradab dalam menimbang sebuah tindakan yang akan dilakukan. Mengutamakan Persatuan Indonesia sebagai kerangka berpikir, berpolitik, bahkan dalam bersaing untuk mencapai sesuatu tetap mengedepankan Persatuan, bukannya malah memecah belah bangsa ini dan membuat gab atau jarak satu dengan yang lainnya.

Dalam mengambil sebuah keputusan dan pergerakan bagi bangsa ini, dan para tokoh-tokoh bangsa seharusnya selalu mempertimbangkan Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan / perwakilan. Harus menjadi sesuatu yang hikmat dan bijaksana bagi masyarakat. Seluruh kerangka berpikir harus menitikberatkan pada Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia. Tidak ada lagi yang namanya beda plihan menjadi saling bermusuhan, saling menjatuhkan, saling memfitnah dan mengabaikan rasa keadilan sosial. Dimata negara ini seluruh rakyat Indonesia memiliki hak mendapatkan Keadilan Sosial. Bukan hanya partai atau golongan tertentu.

Halaman:

Artikel Selanjutnya

Mengulik Pribadi yang Komunikatif

Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi.

Editor: Rohmat Rospari

Tags

Artikel Terkait

Rekomendasi

Terkini

Kemiskinan, Kesehatan, dan Tanggung Jawab Negara

Jumat, 19 Desember 2025 | 13:03 WIB

Hutan sebagai Korban Gaya Hidup Materialistis

Rabu, 17 Desember 2025 | 19:55 WIB

Bahasa yang Hilang di Balik Cahaya Layar Gadget

Rabu, 17 Desember 2025 | 15:29 WIB

UKW dan Kerendahan Hati Seorang Wartawan

Selasa, 16 Desember 2025 | 13:15 WIB

The Western Wall

Jumat, 12 Desember 2025 | 14:40 WIB

Aset Perusahaan Terbakar? Begini Aspek Perpajakannya

Jumat, 12 Desember 2025 | 13:08 WIB

Kekaguman atas Sikap Kemanusiaan — Catatan Pribadi

Rabu, 10 Desember 2025 | 11:35 WIB
X