Berdasarkan hal-hal tersebut, seluruh rakyat Indonesia harus cerdas dalam bersikap terutama di medsos. Sebab, dalam demokrasi, hak yang dimiliki seseorang tidak boleh menciderai hak orang lain dan hak seseorang tidak boleh diciderai oleh hak orang lain. Hargailah perbedaan, fokus pada gagasan, tidak memfitnah, tidak menghina, dan tidak melontarkan kebencian. Sikap politik harus jadi bagian dari pendidikan politik dalam bingkai kedewasaan berdemokrasi.
Dalam sebuah demokrasi sebagai pemilih harus bersikap kritis terhadap informasi dan berita yang didapat. Pemilih perlu melakukan check dan recheck untuk mengetahui kebenaran informasi tersebut dan jangan menyebarkan informasi yang tidak bisa diyakini kebenarannya. Berbagilah informasi hanya yang memang bermanfaat.
Pancasila Sebagai Landasan Dasar Karakter dan Etika Politik
Pancasila sebagai landasan dalam membentuk karakter tertuang dalam setiap azas di dalam pancasila. Setiap azas yang dijabarkan dalam pancasila tersebut menuntun masyarakat untuk membentuk karakter yang baik, dimana dalam sila pertama dituangkan tentang ketuhanan yang maha esa, dimana masyarakat Indonesia dituntut untuk beriman dan bertaqwa kepada tuhan yang maha esa dan didasarkan pada ajaran agama yang dianut oleh masyarakat Indonesia. Sila ke dua di tuangkan tentang Kemanusiaan yang adil dan beradab, dalam sila ini pembentukan karakter yang dibentuk yaitu bagaimana menjunjung nilai-nilai toleransi, menjunjung tinggi keadilan, sopan, santun, dan lainnya. Sila ketiga di tuangkan tentang Persatuan Indonesia, pembentukan karakter dalam sila ini dapat dijabarkan tentang menjunjung tinggi nilai persatuan masyarakat meskipun masyarakat Indonesia di warnai oleh keanekaragaman budaya namun tetap bersatu, yang di tuangkan dalam falsafah “Bhinneka Tunggal Ika” yang memiliki arti “berbeda-beda tetap satu jua”.
Falsafah tersebut memiliki makna mendalam yang dimaknai dengan jiwa dan semangat bangsa Indonesia mengakui realitas sebagai bangsa yang majemuk (suku, bahasa, agama, ras, golongan dll) namun tetap menjunjung tinggi persatuan. Sila ke empat yang dituangkan tentang Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan / perwakilan, dalam sila ini karakter yang dibentuk yaitu membentuk masyarakat arif dan bijaksana dalam bertutur dan bertindak, menjunjung tinggi musyawarah dalam mencapai sebuah kesepakatan bersama, membentuk perwakilan yang memimpin masyarakat dengan menjunjung tinggi hasil musyawarah masyarakat, mementingkan kepentingan umum, pemimpin yang mampu berbuat arif dan bijaksana dalam memimpin. Sila kelima tertuang dalam Keadilan sosial untuk seluruh masyarakat Indonesia.
Pendidikan karakter yang tertuang dalam sila ini yaitu membentuk masyarakat yang adil, tanpa adanya tebang pilih terutama dalam kesejahteraan masyarakat Indonesia. Pendidikan karakter yang tertuang dalam Pancasila ini harus dipahami dan mencerminkan karakter bangsa Indonesia melalui penanaman nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan politik.
Pandangan Islam Mengenai Politik
Islam adalah agama universal, meliputi semua unsur kehidupan, dan politik, Negara dan tanah air adalah bagian dari islam. tidak ada yang namanya pemisahan antara agama dan politik. karena politik bagian dari risalah Islam yang sempuran.[4] Seperti ungkapan bahwa tidak ada kebaikan pada agama yang tidak ada politiknya dan tidak ada kebaikan dalam politik yang tidak ada agamanya.
Di dalam Islam pun, politik mendapat kedudukan dan tempat yang hukumnya bisa menjadi wajib. Para ulama kita terdahulu telah memaparkan nilai dan keutamaan politik. Hujjatul Islam Imam Al-Ghazali mengatakan bahwa Dunia merupakan ladang akhirat. Agama tidak akan menjadi sempurna kecuali dengan dunia. memperjuangkan nilai kebaikan agama itu takkan efektif kalau tak punya kekuasaan politik. Memperjuangkan agama adalah saudara kembar dari memperjuangkan kekuasaan politik (al-din wa al-sulthan tawamaan).
lengkapnya Imam Al- Ghazali mengatakan: “Memperjuangkan kebaikan ajaran agama dan mempunyai kekuasaan politik (penguasa) adalah saudara kembar. Agama adalah dasar perjuangan, sedang penguasa kekuasaan politik adalah pengawal perjuangan. Perjuangan yang tak didasari (prinsip) agama akan runtuh, dan perjuangan agama yang tak dikawal akan sia-sia”. Dari pandangan Al-Ghazali itu bisa disimpulkan bahwa berpolitik itu wajib karena berpolitik merupakan prasyarat dari beragama dengan baik dan nyaman. Begitulah islam memandang pollitik
Karena praktiknya politik itu banyak diwarnai oleh perilaku jahat, kotor, bohong, dan korup, timbullah kesan umum bahwa politik (pada situasi tertentu) adalah kotor dan harus dihindari. Mujaddid Islam, Muhammad Abduh, pun pernah marah kepada politik dan politisi karena berdasarkan pengalaman dan pengamatannya waktu itu beliau melihat di dalam politik itu banyak yang melanggar akhlak, banyak korupsi, kebohongan, dan kecurangan-kecurangan.
Muhammad Abduh pernah mengungkapkan doa taawwudz dalam kegiatan politik ,”Aku berlindung kepada Allah dari masalah politik, dari orang yang menekuni politik dan terlibat urusan politik serta dari orang yang mengatur politik dan dari orang yang diatur politik”. Tetapi dengan mengacu pada filosofi Imam Al-Ghazali menjadi jelas bahwa berpolitik itu bagian dari kewajiban syari’at karena tugas-tugas syari’at hanya bisa direalisasikan di dalam dan melalui kekuasaan politik atau penguasa (organisasi negara).
Dalam kaitan inilah ada kaidah ushul fiqh yang menyebutkan “Ma la yatimmul wajib illa bihi fahuwa wajib” (Jika ada satu kewajiban yang tidak bisa dilaksanakan kalau tidak ada sesuatu yang lain, maka sesuatu yang lain wajib juga diadakan/ dipenuhi). Dengan kata lain, “jika kewajiban mensyiarkan nilai kebaikan Islam tak bisa efektif kalau tidak berpolitik, maka berpolitik itu menjadi wajib pula hukumnya.” Inilah yang menjadi dasar, mengapa sejak awal turunnya Islam, muslimin itu sudah berpolitik, ikut dalam kegiatan bernegara, bahkan mendirikan Negara, dan Rasulullah, SAW, Khulafaur Rasyidin serta para pemimpin islam terdahulu telah membuktikanya.
Di akhir tulisan ini penulis ingin menyampaikan cerita inspiratif dari sang guru ngaji ustad Hasnuddin. Pada suatu hari Seorang Guru yang akan mengajarkan Pendidikan Moral Pancasila, mengawalinya dengan membuat garis lurus sepanjang 10 cm di papan tulis, kemudian meminta murid-muridnya untuk menemukan cara bagaimana memperpendek garis tersebut.
Murid pertama maju ke depan lalu menghapus sekitar 2 cm pada garis tersebut, sehingga menjadi sekitar 8 cm. Murid-murid yang lain menganggukkan kepala, tanda mereka menyetujui tindakan murid tersebut. Guru tersebut lalu mempersilakan dua murid berikutnya. Kedua murid tersebut melakukan hal yang sama, yaitu masing-masing menghapus 2 cm dari garis yang masih tersisa, sehingga akhirnya tinggal tinggal 4 cm.
Artikel Terkait
Mengulik Pribadi yang Komunikatif
Tips Melunakkan Hati Agar Hati tak Sekeras Batu
Berlaku Sederhana Mendulang Berkah
Senyum Tulus
JANGAN MENYERAH...Pesan Kepada Seorang Kawan