Menguak Kembali Misteri Bailout BCA: Benarkah Ide Mengambil Alih 51% Saham Itu Sesat

photo author
- Senin, 18 Agustus 2025 | 23:02 WIB
Ekonom senior HM Sasmito Hadinagoro menilai bahwa meninjau ulang bailout BCA bukanlah ide 'sesat' seperti yang sering dilabelkan. (pinterest/vozduhsumerki)
Ekonom senior HM Sasmito Hadinagoro menilai bahwa meninjau ulang bailout BCA bukanlah ide 'sesat' seperti yang sering dilabelkan. (pinterest/vozduhsumerki)


Oleh : HM SASMITO HADINAGORO

Beberapa waktu lalu, sebuah media perbankan menulis artikel dengan nada keras: gagasan untuk meninjau ulang bailout BCA dan wacana pengambilalihan 51% saham oleh negara disebut sebagai ide “sesat”.

Pertanyaannya, benarkah itu ide sesat? Atau justru publik selama ini yang tidak pernah diberi ruang untuk mengetahui kebenaran di balik salah satu episode paling mahal dalam sejarah ekonomi Indonesia?

Mari kita uraikan pelan-pelan.

1. Krisis, Bailout, dan Triliunan Uang Rakyat

Kita semua tahu, krisis 1997–1998 meluluhlantakkan sistem perbankan Indonesia. Banyak bank bangkrut, dan pemerintah kala itu mengambil langkah “penyelamatan” lewat skema rekapitalisasi bank.

Caranya? Pemerintah menerbitkan obligasi rekap bernilai ratusan triliun. Obligasi ini bukan uang kecil—rakyat lewat APBN harus membayar bunga setiap tahunnya. Salah satu penerima terbesar adalah BCA.

BCA kala itu memang nyaris kolaps. Tapi berkat obligasi rekap, bank ini bisa kembali sehat, bahkan kini menjadi bank swasta terbesar di Indonesia.

2. Penjualan Saham Murah: Rp 5 Triliun untuk 51%

Masalah muncul ketika pemerintah kemudian menjual 51% saham BCA kepada investor asing (Farallon dan kemudian Djarum Group) pada tahun 2001. Harga jualnya sekitar Rp 5 triliun.

Bandingkan dengan nilai pasar BCA saat ini (Agustus 2025): Rp 1.344 triliun kapitalisasi. Artinya, 51% saham sekarang setara Rp 685 triliun lebih.

Pertanyaan logis pun muncul: benarkah harga jual Rp 5 triliun pada 2001 mencerminkan nilai wajar BCA yang baru saja diselamatkan dengan obligasi rekap senilai puluhan triliun?

3. Kritik dari Tokoh dan Lembaga Negara

Jangan kira kritik ini hanya datang dari pengamat jalanan. Tokoh sekaliber Kwik Kian Gie (Menko Ekuin kala itu) menolak memberikan Surat Keterangan Lunas (SKL) kepada obligor BLBI, karena melihat adanya potensi kerugian negara dalam proses bailout dan restrukturisasi perbankan.

Selain itu, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dalam audit rekap perbankan juga pernah menyinggung adanya indikasi kerugian negara dari skema obligasi rekap.

Halaman:
Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi.

Editor: Rohmat Rospari

Tags

Artikel Terkait

Rekomendasi

Terkini

Kemiskinan, Kesehatan, dan Tanggung Jawab Negara

Jumat, 19 Desember 2025 | 13:03 WIB

Hutan sebagai Korban Gaya Hidup Materialistis

Rabu, 17 Desember 2025 | 19:55 WIB

Bahasa yang Hilang di Balik Cahaya Layar Gadget

Rabu, 17 Desember 2025 | 15:29 WIB

UKW dan Kerendahan Hati Seorang Wartawan

Selasa, 16 Desember 2025 | 13:15 WIB

The Western Wall

Jumat, 12 Desember 2025 | 14:40 WIB

Aset Perusahaan Terbakar? Begini Aspek Perpajakannya

Jumat, 12 Desember 2025 | 13:08 WIB

Kekaguman atas Sikap Kemanusiaan — Catatan Pribadi

Rabu, 10 Desember 2025 | 11:35 WIB
X