Oleh : HM SASMITO HADINAGORO
Beberapa waktu lalu, sebuah media perbankan menulis artikel dengan nada keras: gagasan untuk meninjau ulang bailout BCA dan wacana pengambilalihan 51% saham oleh negara disebut sebagai ide “sesat”.
Pertanyaannya, benarkah itu ide sesat? Atau justru publik selama ini yang tidak pernah diberi ruang untuk mengetahui kebenaran di balik salah satu episode paling mahal dalam sejarah ekonomi Indonesia?
Mari kita uraikan pelan-pelan.
1. Krisis, Bailout, dan Triliunan Uang Rakyat
Kita semua tahu, krisis 1997–1998 meluluhlantakkan sistem perbankan Indonesia. Banyak bank bangkrut, dan pemerintah kala itu mengambil langkah “penyelamatan” lewat skema rekapitalisasi bank.
Caranya? Pemerintah menerbitkan obligasi rekap bernilai ratusan triliun. Obligasi ini bukan uang kecil—rakyat lewat APBN harus membayar bunga setiap tahunnya. Salah satu penerima terbesar adalah BCA.
BCA kala itu memang nyaris kolaps. Tapi berkat obligasi rekap, bank ini bisa kembali sehat, bahkan kini menjadi bank swasta terbesar di Indonesia.
2. Penjualan Saham Murah: Rp 5 Triliun untuk 51%
Masalah muncul ketika pemerintah kemudian menjual 51% saham BCA kepada investor asing (Farallon dan kemudian Djarum Group) pada tahun 2001. Harga jualnya sekitar Rp 5 triliun.
Bandingkan dengan nilai pasar BCA saat ini (Agustus 2025): Rp 1.344 triliun kapitalisasi. Artinya, 51% saham sekarang setara Rp 685 triliun lebih.
Pertanyaan logis pun muncul: benarkah harga jual Rp 5 triliun pada 2001 mencerminkan nilai wajar BCA yang baru saja diselamatkan dengan obligasi rekap senilai puluhan triliun?
3. Kritik dari Tokoh dan Lembaga Negara
Jangan kira kritik ini hanya datang dari pengamat jalanan. Tokoh sekaliber Kwik Kian Gie (Menko Ekuin kala itu) menolak memberikan Surat Keterangan Lunas (SKL) kepada obligor BLBI, karena melihat adanya potensi kerugian negara dalam proses bailout dan restrukturisasi perbankan.
Selain itu, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dalam audit rekap perbankan juga pernah menyinggung adanya indikasi kerugian negara dari skema obligasi rekap.